Rabu, 25 Juli 2012

ramadhan


RAMADHAN                                                                                                                            25 JULI 2012

Ramadhan...
kurasakan kesunyian dalam awan yang berbeda
kubuka balutan hati dengan cahaya-Mu
aku penjarakan rasa dalam dzikir-Mu
aku hiasi wajah dengan aroma wdhu-Mu
aku latih tubuhku dengan sujud-Mu..
Ramadhan,....
kau hadir hanya dalam hitungan detik
hadir diantara abad dan tahun,
kau menyimpan sejuta kenikmatan
....................
"ku inginkan kau selalu dalam dekapan"

Minggu, 10 Juni 2012

Kritik Sastra: Takbir Cinta Zahrana

BAB 1. PENDAHULUAN


            Genre sastra dibagi secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sastra nonimajinatif dan sastra imajinatif. Namun, secara umum membuat pembagian genre sastra hanya terpusat pada sastra imajinatif, yaitu prosa, puisi dan drama. Salah satu karya prosa (fiksi) adalah novelet. Novelet adalah cerita berbentuk prosa yang panjangnya diantara novel dan cerita pendek. Isi atau konflik dalam novelet ini tidak sekompleks novel. Menurut Tarigan (dalam Maslikatin, 2007:17) panjang novelet berkisar 10.000 sampai 35.000 kata. Setiap karya sastra (sastra imajinatif) merupakan karya estetis yang memiliki fungsi untuk menghibur, memberi kenikmatan emosional dan intelektual. Karya sastra dianggap baik apabila memberi manfaat kepada pembaca. Hal ini sesuai dengan pendapat Wellek dan Warren (dalam Maslikatin, 2007:3) bahwa hakikat sastra adalah dulte et utile, menyenangkan dan berguna.
            Penilaian terhadap karya sastra terdapat ruang lingkup ilmu kajian yang disebut kritik sastra. Kritik sastra merupakan ilmu yang menyelidiki karya sastra dan memberi pertimbangan bernilai atau tidaknya suatu hasil sastra. Menurut Tarigan (dalam Maslikatin, 2007:8) bahwa kritik sastra sebagai pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat, dan pertimbangan yang adil terhadap baik buruknya kualitas, nilai, dan kebenaran sesuatu. Ahli-ahli sastra mempunyai pandangan yang berbeda terhadap definisi kritik sastra. Namun, dapat ditarik poin pokok dari kritik sastra adalah penilaian terhadap mutu baik dan buruk suatu karya sastra. Penilaian karya sastra tersebut dapat dilihat dari sudut pandang atau ukuran yang ingin dikaji kritikus.  Dalam memberi penilaian (mengkritisi) sebuah karya sastra dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan. Salah satu pendekatan dalam kritik sastra yaitu pendekatan pragmatik.
            Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang menitikberatkan pada sastra yang dapat memberi kesenangan dan faedah bagi pembaca. Pendekatan ini menggabungkan antara unsur penglipur lara dengan unsur didaktik. Oleh karena itu, penulis berminat ingin mengkritisi sebuah novelet yang berjudul Takbir Cinta Zahrana karya Habiburrahman El Shirazy dengan pendekatan prgamatik. Novelet Takbir Cinta Zahrana menceritakan sebuah petualangan Zahrana dalam mendapatkan jodoh yang dia inginkan. Sejauh mana novel Takbir Cinta Zahrana memberikan manfaat dan pesan yang ingin disampaikan pengarang terhadap pembaca.

BAB 2. PEMBAHASAN


            Novelet Takbir cinta Zahrana merupakan salah satu novelet pembangun jiwa yang hasilkan oleh Habiburrahman El Shirazy. Novelet ini menceritakan seorang perempuan yang berhasil mengejar kariernya di dunia pendidikan atau akademik. Perempuan itu sebut saja Dewi Zahrana. Ia berhasil meraih gelar master teknik disebuah institut teknologi di negeri ini. Zahrana dipercaya menjadi pengajar tetap di universitas swasta di Semarang, Jawa Tengah. Segala penghargaan dan pujian ia dapatkan dari berbgai kalangan keluarga, dosen mahasiswa bahkan para tetangganya. Bagi perempuan seusianya nyaris tak ada yang kurang satu apapun. Namun, ada satu hal yang menjadi problema yang boleh dianggap tragis yaitu ia belum menemukan jodohnya.
            Sewaktu masih duduk diperkuliahan S1 banyak laki-laki yang menawarkan diri untuk menjadi calon suaminya. Namun, pada saat itu Zahrana tidak terlintas pikiran untuk menikah, bahkan dia sangat pemilih dan memandang remeh orang lain (laki-laki) yang kariernya berada dilevel bawah seperti Gugun dan kakak Yuyun. Setelah dia merasa usianya sudah cukup tua, dan waktunya sudah harus memiliki pendamping hidup, dia dilamar oleh yaitu Pak Sukarrman (dekan tempatnya mengajar). Namun, Zahrana menolak pinangan tersebut dengan alasan bahwa pak Sukarman bukanlah laki-laki yang baik untuk menjadi imam baginya. Konflik yang terjadi antara Zahrana dan Pak Sukarman membuahkan hasil pengunduran diri Zahrana sebagai dosen di universitas tempatnya mengajar.
            Tak lama kemudian, Zahrana pun mendapat pekerjaan baru yaitu mengajar di sekolah STM Al Falah di Demak. Zahrana tidak perlu beradaptasi secara intens, karena sosok Zahrana banyak disukai oleh siswa-siswanya. Dalam lingkup pendidikan yang baru tidak menghilangkan pikiran Zahrana tentang pendamping hidupnya, apalagi orang tua Zahrana selalu menuntut Zahrana agar cepat menikah. Atas usulan sang ayah Zahrana bersuam kepada pak kyai tempat ia mengajar di STM Al Falah. Ternyata usahanya tidak sia-sia, pak kyai menjodohkan dia dengan Rahmad (alumni pesantren Al Falah) dan pekerjaannya tukang keripik keliling. Setelah Zahrana dipertemukan dengan Rahmad, tiga hari kemudian Zahrana pun mengambil keputusan untuk menerima jodoh yang dipilihkan pak kyai tersebut.  Dua minggu kemudian Zahrana dan Rahmad akan melangsungkan pernikahannya. Namun, takdir berkata lain satu hari sebelum akad nikahnya, malam harinya Zahrana mendengar berita bahwa calon suaminya telah meninggal akibat kecelakaan atas siasat Pak Karman. Keesokan harinya, rencana akad nikahnya menjadi hari belasungkawa atas meninggalnya pengantin laki-laki. Zahrana menaruh curiga terhadap Pak Karman bahwa dialah yang berada dibalik kematian calon suaminya. Beberapa bulan kemudian Pak Karman mendapatkan hukuman setimpal dengan perbuatannya.
            Pada akhirnya, Zahrana bertemu dengan jodohnya yang tak lain adalah mahasiswanya waktu di universitas swasta di Semarang yaitu Hasan. Hasan seorang pemuda yang lebih muda empat tahun usianya dari Zahrana. Zahrana masih tidak habis pikir apakah dia harus menerima pinangan dari Hasan. Zahrana pun menerima Hasan dengan melihat keseriusan Hasan dan ibunya dengan mengajukan persyaratan. Persyaratan tersebut adalah akad nikah yang akan dilangsungkan malam itu juga, Hasan dan keluarga menerima persyaratan tersebut. Akad nikah Zahrana dan Hasan pun berlangsung di sebuah masjid dekat dengan rumah Zahrana.
            Ringkasan di atas merupakan cuplikan dari novelet Takbir Cinta Zahrana, banyak manfaat yang diperoleh setelah membaca novelet ini. Pertama, pesan yang saya dapatkan adalah didikan akhlak perilaku sebagai manusia kita tidak boleh mempunyai pandangan bahwa orang yang rendah itu selamanya rendah. Bagaimanapun kehidupan di dunia ini bagaikan roda berputar, ada pasang surut kehidupan. Hal ini terlihat dari kehidupan laki-laki yang hendak melamar Zahrana yaitu Gugun yang awalnya dianggap tidak cerdas dan kerdil, sekarang Gugun sukses menjadi pengusaha cor logam dan baja. Kehidupan manusia tidak bisa diprediksi hanya melihat satu saat tertentu, tidak selamanya orang yang berada di bawah itu akan selalu di bawah. Hidup manusia sudah mempunyai garis takdir masing-masing.
Kedua, manfaat yang dapat saya ambil adalah setiap perbuatan pasti ada balasannya. Novelet ini memberikan sebuah jalan penyerahan untuk menyadarkan  pembaca bahwasanya setiap perbuatan baik atau buruk akan mendapatkan hukuman yang setimpal. Ada sebuah pribahasa yang sesuai dengan makna di atas seperti siapa yang menabur benih, maka ia akan menuai hasilnya. Maksud dari pribahasa tersebut adalah apabila kita berbuatan kejelekan, maka kita akan mendapatkan balasan yang lebih jelek, begitupun sebaliknya. Novelet ini secara tidak langsung bergerak sebagai media perantara yaitu kontrol atau kendali bagi pembaca supaya lebih berhati-hati dalam melakukan perbuatan, karena setiap perbuatan ada konsenuensi yang diterima.
Secara garis besar novelet Takbir Cinta Zahrana adalah novelet yang baik dengan beberapa manfaat yang saya dapatkan. Ketiga, secara garis besar novelet ini merupakan novelet pembangun jiwa. Dalam novelet ini, diajarkan agar kita harus bersabar, tidak putus asa, keyakinan dengan prinsip-prinsip agama. Sebuah cita-cita apabila diraih dengan jalan kesabaran, disertai dengan usaha yang maksimal, meminta petunjuk kepada Yangkuasa, nantinya pasti akan membuahkan hasil yang baik. Membangun diri dengan sifat penyabar tentunya tidak mudah, terkadang orang cenderung lebih menonjolkan emosinya dalam bertindak. Hal inilah yang diajarkan dalam novel ini yang direpresentasikan lewat tokoh Zahrana yang berusaha sabar dan tegar dalam menghadapi cobaan dalam hidupnya. Keinginan dan usaha kerasnya untuk mendapatkan jodoh, pada akhirnya dia dipertemukan dengan mantan mahasiswanya sendiri.
Selain itu, setiap karya sastra tentunya mempunyai timbal balik, apabila ada kelebihan pasti ada kekurangan, ada baik pasti ada buruk. Dalam mengambil manfaat tentunya adanya sebuah didikan yang harus dicontoh dan tidak harus dicontoh. Dalam novelet ini, diulas seorang perempuan yang lebih mementingkan kariernya di dunia akademik sehingga lupa akad kodratnya sebagai perempuan. Sebagai seorang perempuan, boleh memiliki cita-cita setinggi langit. Namun, jalan kehidupan itu harus seimbang antara karier dan pernikahan. Sebuah karier yang tinggi tidak akan menjamin kebahagiaan hidup yang sesungguhnya. Setidaknya ini sebuah pelajaran bagi pembaca, bahwa kita tidak boleh mengutamakan satu sisi kehidupan. Pengarang juga hiperbol dalam memaparkan sisi kehidupan Zahrana yang sukses meniti kariernya di akademik. Secara logika, kehidupan manusia itu tidak selalu ada titik kulminasi tanpa ada tantangan yang ia hadapi. Namun, berbeda dengan pemaparan tokoh Zahrana yang kehidupannya mencapai kesempurnaan baik karier dan kepribadian yang dibanggakan setiap kalangan.

BAB 3. KESIMPULAN

            Pada hakikatnya, setiap karya sastra mempunyai eksistensi sebagai sarana untuk menyampaikan pesan pengarang kepada pembaca. Namun, setiap pengarang mempunyai ciri khas dan warna tersendiri. Misalnya, pengarang Habiburrahman El Shirazy seorang pengarang yang menganut aliran sastra islami. banyak karya-karya yang kerap disapa kang Abik ini sebagian bercerita dengan setting Kairo. Hal ini dilatarbelakangi kehidupan kang Abik yang menempuh pendidikan di Kota Kairo. Namun, ada sebagian karyanya yang settingnya berada di Indonesia seperti novelet Takbir Cinta Zahrana.
            Novelet ini memberikan banyak pelajaran berharga dalam seputar kehidupan. Mengajarkan arti saling menghargai sesama manusia, tidak ada perbedaan yang mengikat kelompok masyarakat tertentu. Tidak ada perbedaan antara kaya dan miskin, buruh dan pejabat tinggi. Manfaat lain yang dapat dipetik dari membaca novelet ini adalah setiap perbuatan pasti ada hukumannya. hal ini bisa menjadi kontrol sosial terhadap pembaca, bahwa apabila dalam bertindak harus lebih hati-hati karena setiap perbuatan ada konsekuensinya masing-masing.
Selain itu, nevelet ini sebuah cerita yang isinya sebagai pembangun jiwa pembaca. membangun jiwa dan berbudi pekerti yang baik, tidak lepas dari prinsip-prinsip agama. Agama mengajarkan bahwa kita harus menjadi orang-orang yang sabar, tidak pernah putus asa, dan yakin akan takdir Ilahi. Adapun sisi buruk dari novelet ini, sosok perempuan yang lupa akan kodratnya, seorang perempuan yang lebih mementingkan karier dari pada pernikahan. Pengarang juga hiperbol dalam menceritakan sosok Zahrana yang sukses meniti kariernya dalam dunia akademik. Dalam kehidupan tentunya ada seni hidup yang mewarnai perjalan hidup manusia.

Sumber:
_ _ _2011.Takbir Cinta Zahrana. http://www.rajaebookgratis.com/2011/01/takbir-cinta-zahrana.html. [13 April 2012].
Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Jember University Press.
Semi, Atar. 1986. Kritik Sastra. Bandung: Angkasa.

kajian stlistika: gadis pantai

BAB 1. PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
            Perkembangan sastra dari masa ke masa menghasilkan sebuah karya yang konferehensif dan spektakuler.  Secara garis besar, genre sastra dibagi menjadi dua yaitu sastra nonimanjinatif dan sastra imajinatif (Soemardjo dan Saini dalam Maslikatin, 2007:13). Namun secara umum pembagian genre sastra hanya berpusat pada sastra imajinatif yaitu prosa, puisi, dan drama. Salah satu karya sastra yang mempunyai dari tarik pembaca yaitu novel.
Novel adalah cerita berbentuk fiksi dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas dapat dilihat dari tema yang kompleks, plot yang kompleks, karakter yang kompleks, konfliks yang kompleks dan setting  yang kompleks. Dalam perkembangannya, novel berkembang dengan pesat dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain. Novel memanifestasikan suatu keberagaman cerita yang kompleks dari seputar kehidupan masyarakat. Cerita-cerita yang diangkat sebagai tema tentunya mempunyai relevansi dengan karakteristik pengarang atau budaya pengarang. Bagaimana pengarang tersebut menilai suatu problematika kehidupan yang ia tuangkan lewat  karya sastra. Salah satu pengarang yang mempunyai kharismatik bagi bangsa Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer. Siapa yang canggung mendengar nama pengarang ini, beliau adalah pengarang sejati, hampir 14 tahun dari hidupnya ia diasingkan di pulau buru tanpa ada proses pengadilan. Setelah beliau dibebaskan, beliau tetap menjadi tahanan negara yang wajib lapor satu minggu satu kali. Sebagai tahanan negara, tidak menyurutkan semangatnya untuk berkarya, salah satu karyanya yang  ditulis pada masa menjadi tahanan kota dan negara adalah Novel Gadis pantai.
Novel Gadis Pantai merupakan novel pertama dari trilogi yang ditulisnya,
sebuah novel tanpa terselesaikan, karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Gadis pantai ini menyuarakan suara rakyat, yang mana pada waktu itu terjadi feodalisme pada masyarakat Jawa. Gadis pantai merupakan simbol perwakilan dari rakyat biasa yang hidupnya dikuasai oleh orang Jawa yang berdarah biru (bangsawan). Novel ini bercerita bagaimana feodalisme orang Jawa pada waktu itu sangat menjunjung tinggi status sosial. Golongan Bendoro (priyayi) adalah golongan orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak berbuat apa saja terhadap rakyat bawahan, termasuk mengawini anak-anak gadis bawahannya yaitu Gadis Pantai yang dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya akan dicampakkan begitu saja.
            Novel Gadis Pantai ini merupakan suatu novel kritikan terhadap feodalisme orang Jawa (bendoro), yang menindas para masyarakat di kampung nelayan. Serangkaian resensi di atas penulis berminat ingin meneliti Novel Gadis Pantai dari kajian stilistika. Suatu kajian sastra yang menitikberatkan pada gaya bahasa, bahasa figuratif dan pemakaian diksi, yang menghasilkan suatu efek estetika kebahasaan. Penulis ingin mengkaji sejauh mana pengarang memainkan gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu sikap kritis dan perlawanan terhadap feodalisme yang terjadi waktu itu.

1.2 Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan proses menuju kristalisasi dari berbagai hal yang terdapat di latar belakang. Suatu makalah harus mempunyai ruang lingkup agar objek kajiannya lebih terarah dan tidak menyimpang dari bahasan utamanya yaitu kajian stilistika, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1)      bagaimana penggunaan diksi dalam Novel Gadis Pantai?
2)      apa saja majas-majas yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai?
3)      apa saja citraan yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai?

1.3 Tujuan
            Tujuan merupakan realisasi yang hendak dicapai yang relevan terhadap permasalahan yang ada. Adapun tujuannya sebagai berikut:
1)      untuk mengetahui penggunaan diksi dalam Novel Gadis Pantai
2)      untuk mendeskripsikan majas-majas yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai
3)      untuk mendeskripsikan citraan yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai

1.4 Landasan Teori
            Dalam sebuah kajian untuk menganlisis dalam perumusan masalah di atas yaitu menggunakan kajian teori yang berkaitan dengan maslah tersebut. Adapun teori-teori yang digunakan dalam menganalisis sebagai berikut:

1.4.1 Stilistika
            Secara etimologis stylistic berhubungan dengan kata syle, artinya ‘gaya’. stylistic dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra (Endraswara, 2011:71). Bahasa sastra adalah bahasa khas, yaitu bahasa yang sudah direkayasa sehingga memunculkan gaya bahasa yang membangkitkan kesenangan pembaca. Kajian stilistika tidak hanya terbatas pada gaya bahasa sastra saja, kajian stilistika itu sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa, tidak sebatas pada sastra saja (Chapman,1973:13 dalam Nurgiyantoro, 2010:279).
Penelitian stilistika atau gaya bahasa dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: 1) melihat dari sudut penulis, dengan mempelajari kedalaman penulis dalam menampilkan gaya bahasa; 2) dari ciri teks sastra, dengan cara mempelajari dan mengkategorikan gaya bahasa yang tampil dalam teks; dan 3) gaya yang dihubungkan dengan kesan yang diperoleh dari khalayak.

1.4.2 Diksi
Secara harafiah diksi adalah pilihan kata. Pengertian diksi atau pilihan kata jauh lebih luas dari pa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata. Menurut Keraf (2009:23) diksi atau pilihan kata dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara khusus yang berbentuk ungkapan-ungkapan. Setiap pengarang mempunyai ciri dalam pemilihan diksi. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosial dan budaya, pendidikan, dan agama dari pengarang.

1.4.3 Majas (Bahasa Figuratif)
            Majas (bahasa figuratif) merupakan bahasa yang bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif adalah bahasa yang digunakan penyai atau pengarang untuk menyatakan sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu secara tidak langsung mengungkapkan makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau bersifat konotatif. Bahasa figuratif dipandang mampu menghasilkan kesenangan yang imajinatif yang menghadirkan efek estetika dalam karya tersebut. Secara garis besar majas dibedakan menjadi 4 macam, yaitu 1) perbandingan, 2) penegasan, 3) pertentangan, dan 4) sindiran. Adapun jenis-jenis majas (bahasa figuratif) sebagai berikut:

1) Majas Perbandingan
a)      Majas Simile
Majas simile adalah majas perbandingan yang bersifat ekspilisit dan menggunakan kata-kata pembanding: seperti, bagaikan, laksana dan lain sebagainya. Misalnya:
-          Wajahmu bagai pinang dibelah dua.
b)      Majas Metafora
Metafora adalah kiasan langsung, artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Menurut Keraf (2009139) metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati dan lain-lain. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata: seperti, bak, bagaikan, bagai, dan sebagainya. Misalnya:
-          Pemuda adalah bunga bangsa.
c)      Majas Personifikasi
Personifikasi adalah keadaan atau peritiwa alam yang dikiaskan sebagai keadaan atau peritiwa yang dialami manusia (Maslikatin, 2007:84). Sedangkan, menurut Keraf (2009:) personifikasi adalah semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya:
-          Bulan mengintip di balik awan
-          Matahari baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana.
d)     Majas Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian (totum pro parte). Misalnya:
-          Dalam pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4.
e)      Majas Hiperbola
Hiperbola merupakan kiasan berlebih-lebihan. Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membersar-besarkan sesuatu hal (Keraf, 2009:135). Misalnya:
-          Kemarahanku sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku.
f)       Majas Antonomasia
Majas antonomia adalah majas yang merupakan bagian sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama diri. Misalnya:
-          Pangeran yang meresmikan pembukaan seminar itu.
g)      Majas Eponim
Majas eponim adalah suatu gaya bahasa dimana nam seseorang menunjukkan ciri-ciri tertentu. Misalnya:
-          Kecantikannya seperti cleoptra.

2) Majas Penegasan
a)      Majas Elipsis
Majas elipsis adalah suatu gaya bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat atau dengan pola kalimat tidak lengkap. Misalnya:
-          Pergi! (maksudnya anak-anak, pergilah sekarang juga)
b)      Majas Repetisi
Majas repetisi adalah suatu gaya bahasa dengan perulangan bunyi, suku kata, atau kata atau sebagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Misalnya:
-          Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka menyusupi tanah, menyusupi alam?

3) Majas Pertentangan: Majas Antitesis
Majas antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Misalnya:
-          Kaya-miskin, tua-muda, besar-keci, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan negara.  

4) Majas Sindiran:
a)      Majas Ironi
Majas ironi adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dengan apa yang terkandung dalam rangkaian kat-katanya (Keraf, 2009:143). Misalnya:
-          Saya tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu mendapat tempat terhormat!
b)      Majas Anifrasis
Majas Anifrasis adalah sindiran dengan makna menyindir. Misalnya:’
-          Si miskin sudah datang (padahal ia kaya).

1.4.4 Citraan
            Citraan merupakan gambaran angan, gambaran dalam pikiran dan bahasa yang menggambarkannya. Gambaran pikiran yang menimbulkan efek dalam pikiran yang menyerupai (gambaran) yang dihasilkanoleh penangkapan objek yang dapat dilihat mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah otak. Adapun jenis-jenis citraan yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, pencecapan, penciuman, dan perabaan bahkan diciptakan oleh pemikiran dan gerak (citraan intelektual).


1.5 Metode Penelitian
            Penelitian sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, di samping juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra itu sendiri (Tuloli,  1990:92 dalam Endraswara 2011:10).  Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah metode kualitatif.
            Metode kualitatif dalam analisis ini menggunakan pendekatan dekriptif analisis. Pendekatan analisis deskriptif merupakan metode yang dilakukan dengan cara mendeskrpsikan fakta-fakta (fakta yang terdapat dalam karya sastra), setelah itu disusul dengan analisis. Dalam metode ini, peneliti tidak hanya menguraikan, namun peneliti harus juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Penjelasan tersebut dipadankan dengan teoari-teori yang relevan dengan pembahasan yaitu teori stilistika.
           













BAB 2. GAMBARAN UMUM


            Novel gadis pantai merupakan novel pertama dari trilogi yang tidak terlesaikan. Dua novel lanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini menceritakan seputar perjalanan seorang gadis yang berasal dari kampung nelayan, sebut saja dia dengan Gadis Pantai. Gadis Pantai yang masih berusia belia dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak ia kenal dari kalangan bangsawan  yaitu Bendoro. Setelah pernikahan selesai, gadis pantai lalu diboyong oleh bapak dan emak dengan iring-iringan kepala kampung nelayan dengan kendaraan dokar menuju alun-alun kabupaten. Iringan tersebut yang mengantarkan Gadis Pantai untuk diserahkan ke bendoro. Bendoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang mempunyai korelasi dengan pemerintah belanda. Adapun kajian sosial budaya pengarang dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:

2.1 Klasifikasi Sosial Masyarakat Jawa
            Priyayi dalam novel ini adalah golongan ningrat sangat mempertahankan tradisi Jawa yang ada sebagai bentuk warisan khasanah dari nenek moyang. Priyayi dalam novel gadis pantai ini merupakan sekelompok orang Jawa yang mempunyai kehormatan dan dihormati dalam status sosial.  Hal ini tercermin dari tokoh seorang Bendoro yang mempunyai kekuasaan dan dihormati, sehingga suatu kebahagiaan bagi emak dan bapak Gadis Pantai, bahwa anaknya telah diunting oleh Bendoro. Priyayi dalam novel ini cenderung berkenaan dengan masalah penataan dunia spritual. Namun, kehadiran priyayi (bendoro) dalam novel ini suatu tanda kritikan terhadap kekuasaan para penguasa Jawa yaitu seorang bendoro.
            Tokoh bujang wanita (mbok) dan Gadis Pantai merupakan representasi dari rakyat kebanyakan (bawahan). Pramoedya menghadirkan tokoh mbok dan Gadis Pantai sebagai kontrol sosial terhadap kelompok ningrat. Pramoedya menghadirkan sebuah tradisi bahwasanya orang kebanyakan di sini hanya patuh terhadap aturan oleh penguasa. Hal ini tercermin dari sikap dan keseharian Gadis Pantai setelah berada dalam rumah bendoro, ia harus patuh dan dilarang berbicara seenaknya dengan para bujang-bujang yang melayaninya. Terlihat sangat mencolok tentang perbedaan status sosial dalam novel ini, Gadis Pantai tidak bisa bersikap semaunya terhadap bendoro selayaknya suami pada umumnya. Namun, Gadis Pantai tetap harus hormat dan patuh sesuai dengan aturan (tradisi priyayi). Gadis Pantai harus mampu bersikap dan menjaga sikap sebagai wanita utama.
            Pramoedya mengungkapkan bahwa kekejaman feodalisme Jawa yang terjadi pada saat itu. Kaum bangsawan pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat Jawa. Perbedaan status sosial yang dijunjung tinggi sehingga kaum bangsawan tidak boleh bergaul dengan orang bawahan. Pramoedya mengungkapkan betapa kejamnya feodalisme Jawa, sampai orang tua dari Gadis Pantai pun harus pergi dari rumah tersebut. Seorang bendoro tidak menganggap orang tua Gadis Pantai sebagaimana layaknya mertua biasanya. Emak dan bapak Gadis Pantai pun memahami perbedaan statusnya sebagai rakyat bawahan. Emak dan bapak hanya menaruh harapan bahwasanya masa depan gadis pantai lebih terjamin dengan cara disunting oleh kaum bangsawan.

2.2 Relasi Gender
            Dalam novel ini juga sedikit menyinggung tentang masalah gender. Permasalahan gender yang juga menjadi bahan pembicaraan pada kalangan bangsawan (darah biru). Golongan priyayi (bendoro) yang menganggap bahwasanya seorang anak wanita itu tidak bisa menjadi penerus keluarga. Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten (Gadis Pantai) setelah ia melahirkan anak (perempuan) bagi Bendoro. Dalam masyarakat feodal nampak sekali perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa besarnya keinginan rakyat feodal untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus bagi mereka. Dalam masyarakat ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja dan tidak dapat dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan melahirkan anak saja, apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan.
            Novel inilah yang berhasil menguak kekejaman feodalisme Jawa yang terjadi pada waktu itu. Feodalisme yang hanya mendukung orang yang berkuasa yang berasal dari kalangan bangsawan (darah biru). Kekejaman feodalisme memberikan dampak yang sangat buruk bagi rakyat biasa yang diperlakukan atas dasar sesuka hati para penguasa. Terlihat dari kesengsaraan rakyat kecil (Gadis Pantai) harus menerima perceraian yang secara sepihak. Gadis Pantai sebagai representasi bahwasanya rakyat kecil tidak mempunyai kekuatan untuk melawan kekejaman para penguasa. Gadis Pantai harus terpaksa pergi dan memutuskan untuk mengambil jalan menuju Blora (kota kelahiran Pramoedya). Rangkaian cerita tersebut yang mencerminkan adanya ketidakadilan atas hak-hak sebagai manusia makhluk Tuhan, utamanya sebagai rakyat biasa (bawahan).
Gambaran dalam novel Gadis Pantai, sebagian besar novel ini merupakan suatu pengalaman atau kenyataan yang pernah ia lihat, pernah ia rasakan dan dialami oleh pengarang sebagai individu yang berada dalam masyarakatnya. Namun, Pramoedya bukanlah orang yang suka menyerah dan menerima layaknya orang kebanyakan. Sebagai seorang pribadi, Pramoedya juga mempunyai pandangan yang berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dalam novel ini Pramoedya berusaha mengusuk tentang kejamnya  feodalisme Jawa yang terjadi waktu itu. Hal itu dilatarbelakangi oleh kehidupan Pramoedya yang merupakan salah satu wacana wakil dari masyarakat pada kelompok orang kebanyakan. Dalam mengarang novel ini Pramoedya terinspirasi dari neneknya sendiri (nenek dari ibu) yang bernama Satimah. Neneknya merupakan cerminan orang kebanyakan yang dijadikan selir oleh kakeknya. Kakeknya adalah seorang penghulu di kota Rembang. Tetapi, setelah melahirkan bayi perempuan yang tak lain adalah ibu kandung Pramoedya, ia diusir dari gedung tuannya. Nenek Satimah berasal dari keluarga miskin, karakternya yang periang, suka memberi dan sayang kepada cucu-cucunya. Meskipun Pramoedya tidak begitu mengenal neneknya, namun dari sinilah nenek Satimah merupakan prototipe orang kebanyakan yaitu Gadis Pantai.  

BAB 3. PEMBAHASAN


            Novel Gadis Pantai merupakan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer, novel pertama dari trilogi yang tidak terselesaikan. Novel yang menyuarakan problema yang dilematis pada saat itu yaitu tentang feodalisme Jawa yang terkesan kejam terhadap rakyat bawahan (orang kebanyakan: Gadis Pantai). Gerak cerita yang disajikan dalam novel ini sangat kompleks. Novel ini merupakan representasi dari latar belakang kehidupan pengarang. kekejaman feodalisme Jawa yang memberikan pandangan pengarang bahwa ia tidak sepaham dengan paham tersebut. Tentunya, relevansi latar belakang pengarang itu mempunyai pengaruh yang cukup tinggi terhadap karya yang dihasilkan, meliputi gaya bahasanya, tema kehidupan yang menjadi landasan pemilihan judul dan lain-lain. Setiap pengarang mempunyai gaya atau ciri khas yang berbeda dalam menuangkan konsep pemikirannya, misalnya Pramoedya Ananta Toer yang berlatar belakang sosial budaya Jawa.
            Stilistika novel Gadis Pantai (GP) yang memiliki daya sebagai sarana sastra yang terkesan ekpresif, naratif dan provokatif dalam pemaparan cerita. Sebagai sarana ekspresif, pemilihan diksi yang digunakan pengarang mendukung untuk menciptakan sebuah gagasan yang diungkapkan oleh pengarang. Daya naratif dan provokatif, penceritaan yang disajikan oleh Pramoedya bersifat naratif yang mengandung daya provokatif karena gaya bahasa yang dikolaborasi sedemikian rupa untuk memberikan kesan yang berbeda terhadap pembaca. Kaya akan kata-kata konotatif yang diaplikasikan seindah mungkin untuk menunjang unsur estetika kebahasaan. Stilistika Gadis Pantai nuansa intelektual seputar perjuangan kehidupan rakyat bawah masyarakat Jawa. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang Pramoedya Ananta Toer yang memperjuangkan hidupnya setelah dia dibuang di Pulau Buru. Darah campuran yang terdapat dalam diri Pramoedya, tidak mempengaruhi atas ideologi pemikirannya untuk lebih memihak memperjuangkan dan menyuarakan penderitaan rakyat kecil.

3.1 Kajian Stilistika: Diksi
            Diksi  merupakan pilihan kata yang mempunyai peranan penting. Stilistika pada penggunaan diksi (pilihan kata) dalam gadis pantai yang paling dominan sebagai berikut:

3.1.1 Kata Konotatif
            Kata konotatif ini menunjuk pada makna bukan sebenarnya atau kias. Makna konotatif ini mempunyai peran aktif dalam menciptakan sebuah karya sastra dengan nilai estetika yang tinggi. Kata konotatif dalam novel Gadis Pantai sangat dominan.
            Data 1:
            Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepanjang pantai keresidenan jepara Rembang.
            Angin yang bersuling di puncak pohon-pohon cemara tidak membuat pertumbuhannya lebih baik.
(GP:1)

Analisis:
Data di atas merupakan sebagian kecil kata yang menunjukkan kata konotatif. Bentuk frasa bunga kampung nelayan, kata bunga makna denotatifnya adalah bagian tumbuhan yang menjadi bunga. Namun, kata bunga di sini merujuk pada makna konotatif yang dikonotasikan kepada sosok seorang gadis kecil yang mungil, matanya agak sipit, hidung ala kadarnya yaitu yang disebut gadis pantai. Sosok gadis mungil tersebut yang melatar belakangi pengarang memilih kata bunga sebagai lambang sebuah keindahan.
Bentuk kalimat selanjutnya adalah frasa angin yang bersuling merupakan salah satu bentuk kata yang bermakna konotatif. dalam dunia nyata angin tidaklah akan berbuat layaknya manusia yaitu bersuling. pengarang memilih kata bersuling, pengarang menganggap bahwasanya angin yang terjadi secara sepoi-sepoi diibaratkan bunyi seruling, sehingga angin yang sepaoi-sepoi itu tidak menghambat pertumbuhan pohon cemara.
            Data 2:
            Dua titik air menggantung layu pada sepasang mata bapak.
(GP:31)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan kata konotatif padan novel Gadis pantai. Bentuk dua titik air ini adalah konotatif untuk menggambarkan keadaan yang sedang menangis. Kata menangis dan dua titik air mempunyai sebuah gambaran yang sama yaitu air dan peragaan. Kata dua menggambarkan sebuah mata yang berjumlah dua atau sepasang yang bisa mengeluarkan air mata. Penyebutan dua titik air ini ditujukan kepada bapak (Gadis Pantai) yang menangis untuk melepas kepergian anaknya ke rumah bendoro.
            Data 3:
            Pukulan rebana itu tiba-tiba keras memprotes. dan orang-orang pun memberikan kesempatan padanya berbicara.
            (GP:180)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian kata konotatif. Pada kata memprotes bukanlah makna denotatif yang menunjuk pada sebuah pernyataan ketidak persetujuan. Namun, pemilihan kata itu dikonotasikan sebagai representatif amarah atau emosi pemilik rebana. Bahwa penggunaan kata memprotes dianggap mewakili sebuah emosi yang sedang terjadi pada pemilik rebana (dul pendongeng) agar diberi kesempatan untuk berbicara.            
            Dalam karya sastra kata konotatif merupakan unsur kebahasaan yang sangat dominan. Hal ini sebagai upaya untuk menciptakan estetika dalam sebuah karya sastra. Unsur kebahasaan inilah yang sangat menonjol sebagai bentuk  perbedaan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa yang lain.

3.1.2 Kosa Kata Bahasa Jawa
Dalam novel Gadis pantai ini banyak ditemukan kosa kata bahasa Jawa. Hal ini dilatarbelakangi oleh faktor kultural pengarang yang dibesarkan di kalangan masyarakat Jawa. Berikut data yang menunjukkan pemakaian kosa kata bahasa Jawa.
Data:
Emak membuang muka, melalui jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur.
(GP:3)
Saking panjangnya ruangan itu sehingga nampak seakan sempit.

(GP:6)
“Ah, Mas Nganten, Mas Nganten, bocah kecil, kecil juga susahnya. Bocah gede, gede juga susahnya.”
                                                (GP:40)
Botol-botol kecap lari ke dapur. Oleh-oleh digelar di atas ambin.
(GP:140)
“Mau beli benang jala?”
“tidak”
“”Damar
(GP:216)
Analisis:
Data yang bercetak miring tersebut menunjukkan pemakaian bahasa Jawa. Hampir setiap bagian dari novel tersebut terdapat kosa kata yang berasal dari Bahasa Jawa yaitu emak ‘ibu’, saking ‘karena’, gede ‘besar’, ambin ‘balai-balai’ dan damar ‘sejenis lampu’. Data yang disajikan di atas merupakan sebagian dari penggunaan kosa kata yang ada dalam novel Gadis Pantai. Pemilihan diksi kosa kat Jawa ini digunakan oleh Pramoedya untuk menciptakan latar sosial budaya masyarakat Rembang sesuai latar cerita. Rembang merupakan nama sebuah daerah yang ada di Semarang, Jawa Tengah.

                                                                                                                       
3.2 Kajian Stilstika: Bahasa Figuratif
            Bahasa figuratif adalah bahasa bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan pengarang. Bahasa figuratif mampu menghidupkan suasana, mengandung nilai estetika yang mendorong timbulnya kesan yang menyenangkan terhadap pembaca. Bahasa figuratif meliputi: permajasan, tuturan idiomatik dan peribahasa. Majas yang ditemukan dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:

3.2.1 Permajasan
            Majas meruapkan suatu gaya bahasa yang mempunyai peranan penting dalam menunjang estetika karya sastra. Adapun majas-majas yang terdapat dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:
a) Majas Perbandingan
1)      Majas Simile
            Data:
            Tahu, Mas Nganten, seorang wanita utama adalah laksana gunung.
            (GP:64)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas simile. Majas simile tersebut ditandai dengan adanya kata pembanding yaitu laksana. Pengarang sedang mengkiaskan perbandingan yaitu seorang wanita yang mempunyai kedudukan bangsawan (Mas Nganten) diibaratkan gunung. Ibarat ini mungkin dengan kedudukan gunung yang tinggi dan setia (tetap). Jadi, kedudukan seorang wanita bangsawan itu mempunyai kehormatan yang dijunjung tinggi oleh bawahannya.
2)      Majas Metafora
            Data:
            Kulitnya kuning langsat selicin tapak setrika.
(GP:34)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas metafora. Majas metafora di atas mengkonotasikan bahwa keberadaan tubuh seseorang itu bagus dan tidak ada bekas. Sehingga, pengarang menggunakan kiasan langsung bahwa pujian akan kemulusan tubuh gadis pantai itu sempurna, seakan-akan tidak ada satu hewan yang dapat menyentuhnya, halus, dan lembut yaitu dengan gambaran kata selicin tapak setrika.
3)      Majas Personifikasi
            Data:
            Dan mendadak sepasang kilat mengintip dari balik awan gelap.
 (GP:128)

Analasis:
Data tersebut menunjukkan majas personifikasi. Majas personifikasi terlihat dari penggunaan kata kilat ‘cahaya yang berkelebat dengan cepat dari langit’ seolah-olah melakukan perbuatan seperti manusia yaitu dengan kata mengintip. Kata mengintip ‘melihat lubang kecil dengan sembunyi’ merupakan suatu bentuk kata kerja, yang hal ini suatu bentuk yang ditujukan terhadap pekerjaan manusia. Jadi, data di atas menunjukkan sebuah ibarat terhadap benda (kilat) atau barang-barang yang bisa berbuat layaknya makhluk hidup atau manusia yaitu mengintip.
4)      Majas Sinekdoke
Data:
Gadis Pantai (judul novel)

Analisis:
Judul novel “Gadis Pantai” merupakan pengambilan judul dengan dengan menggunakan majas sinekdoke. Setiap orang mempunyai nama sebagai tanda pengenal dan identitas diri. Namun, Gadis Pantai bukanlah nama yang sesungguhnya yang mengarah pada nama diri seseorang. Nama Gadis Pantai merupakan suatu nama yang digunakan untuk mewakili gadis atau perempuan-perempuan pantai yaitu representasi dari seorang gadis yang berasal dari orang-orang kebanyakan atau rakyat bawah. Oleh karena itu, pemilihan judul dengan Gadis Pantai merupakan majas sinekdoke yang totum pro parte yaitu mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Artinya, bahwa yang menikah dengan seorang bendoro itu hanya satu orang bukan seluruh gadis pantai (gadis yang tinggal disekitar pantai).
5)      Majas Hiperbola
Data:
Lebih duapuluh empat jam perut tak dilalui makanan.
(GP:183)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan majas hiperbola. Penggunaan rangkaian kata tersebut adanya unsur yang dilebih-lebihkan. Kata lebih duapuluh empat jam merupakan konotasi yang dipakai untuk melebih-lebihkan, untuk mengungkapkan  suatu keadaan “sangat lapar”. Kata lebih duapuluh empat jam mempunyai kesamaan arti lebih dari sehari semalam, hal ini terkesan bahwa suatu keadaan yang sangat lapar bisa terwakili dengan klausa tersebut.
6)      Majas Antonomasia
Data:
“Pada aku ini Mas Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan dan untuk Mas Nganten.”
(GP:15)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas antonomasia. Penggunaan kata Mas Nganten  merupakan suatu data yang khusus mengacu pada penggunaan majas antonomasia. Penyebutan kata Mas Nganten adalah suatu sebutan (menggantikan nama orang) yang khusus diberikan kepada seorang wanita yang berkedudukan sebagai istri bendoro yaitu kaum bangsawan. Sebutan Mas Nganten ini diberikan kepada gadis pantai sejak ia menjadi wanita utama dan istri dari seorang bendoro.
7)      Majas Eponim
Data:
Tubuh yang kecil itu meriut seperti keong, ketakutan.
(GP:3)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas eponim.  Data tersebut menggunakan kata keong sebagai penggnati nama yang menunjukkan ciri tertentu. Keong merupakan salah satu hewan yang mempunyai kebiasaan apabila ia disentuh ia akan meriutkan atau menyembunyikan badannya di dalam rumahnya. Rasa takut yang dialami oleh gadis pantai tersebut diibaratkan seperti keong yang sedang meriutkan badannya dibalik rumahnya. Sedangkan kata tubuh yang kecil itu  merupakan sebuah entitas yang digambarkan pengarang adalah gadis pantai. Sehingga, pengarang menggunakan kata keong sebagai rasa untuk mengungkapkan rasa takut yang dialami oleh gadis pantai.

b) Majas Penegasan
1)      Majas Elipsis
Data:
“Pergi!” (maksudnya gadis pantai disuruh pergi dari hadapan bendoro)
(GP:224)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan adanya majas elipsis. Penggunaan kata pergi merupakan sebuah kalimat minor yang mengandung maksud perintah. Penggunaan kata pergi merupakan majas elipsis yang mana ada salah satu unsur yang dilesapkan. Ucapan pergi adalah ucapan yang diucapkan oleh bendoro kepada gadis pantai, sebagai simbolisasi bahwa gadis pantai telah diusir dari kediaman bendoro. Salah satu unsur yang mungkin dilesapkan adalah pergi gadis pantai yaitu subjek yang dihilangkan.  
2)      Majas Repetisi
Data:
Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang kering. Tak ada ada babon tongkol yang tergantung diatas pengasapan. Tak ada yang bergantungan di dinding  terkecuali kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau.
(GP:14)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas repetisi. Kata tak ada merupakan frasa sebagai bentuk perulangan yang dianggap penting untuk memberikan tekanan. Sebuah tekanan yang menunjukkan suatu perbedaan suasana yang dialami oleh gadis pantai. Situasi yang ada dalam ruangan tersebut sudah jauh berbeda dengan situasi yang masih di kampung nelayan. Pengarang menggunakan perulangan frasa tak ada untuk memperjelas tekanan bahwa di ruangan itu sudah berbeda dengan situasi yang dialami gadis pantai pada saat ia berada di kampung nelayan.

c) Majas Pertentangan: Majas Antitesis
Data:
Dan ternyata seluruh kampung sedang menunggu mereka, berbaris besar-kecil, tua-muda, laki-perempuan, di pantai di bawah deretan pohon-pohon...
(GP:198)

Analisis:
            Data tersebut menunjukkan majas antitesis. Kata-kata yang bercetak miring merupakan sebuah gagasan yang bertentangan yang menggambarkan sebuah kondisi di kampung nelayan untuk menyambut kedatangan gadis pantai. Pengarang menggunakan kata-kata bertentangan yang sifatnya mutlak yaitu besar >< kecil, laki-laki >< perempuan, dan tua >< muda. Pengarang menggunakan kata-kata yang bertentangan tersebut, bahwasanya tidak ada yang dapat menggantikan sifat dari keduanya. 

d) Majas Sindiran:
1)      Majas ironi
Data:
“Inilah kampung. Kampungku. Jangan injakkan kakimu yang indah di atas pasir ini, nyonya janda, kalau tidak mau kena kutukanku.”
(GP:126)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan majas ironi, perkataan dari Gadis Pantai terhadap Mardinah yaitu jangan injakkan kaki yang indah di atas pasir ini merupakan sindiran yang ditujukan kepada Mardinah bahwa dia tidak boleh ikut ke kampung nelayan. Gadis Pantai menyindir Mardinah supaya dia balik ke Bendoro dan tidak mengikutinya
2)      Majas Anifrasis
Data:
“Itu bukan aku, bukan aku. Bukan! Bukan! Iblis”.
(GP:33)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan majas anifrasis. Data tersebut mempunyai makna yang berlawanan dengan kenyataan. Gadis Pantai menyindir dirinya sendiri bahwa dirinya jelek. Namun, keadaan gadis pantai sangat cantik seperti bidadari, seperti halnya dibuktikan dengan ucapan bujang “Lihatlah itu bukan iblis. Bidadari dari surga itu sendiri!” (GP:34). Makna pada data tersebut bertentangan dengan keberadaan gadis pantai yang sebenarnya merupakan gadis yang cantik.

3.2.2 Idiomatik
            Tuturan idiomatik dalam suatu kajian stilistika termasuk dalam ranah bahasa figuratif. Adapun data yang menunjukkan data tuturan idiomatik dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:
            Data 1:
            Dan jadilah ia bunga kampung nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.
(GP:1)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan adanya pemakaian kata yang bermakna idiomatik. Frasa bunga kampung mempunyai kesetaraan dengan bunag desa. Frasa bunga kampung mempunyai makna ‘perawan yang karena kecantikannya di kampung tempat tinggalnya’. Pegarang menggunakan frasa bunga kampung sebagai simbol untuk menggambarkan sesosok kecantikan dari seorang perempuan atau gadis kampung dari kampung nelayan yaitu gadis pantai.

Data 2:
            Kuda kacang yang menarik dokar sarat muatan nampak seperti sedang berjingkrak kepanasan.
(GP:115)
Analisis:
            Data 2 tersebut juga menunjukkan adanya penggunaan kata yang bermakna idiomatik. Frasa kuda kacang merupakan frasa yang bukan bermakna sebenarnya, makna frasa tersebut adalah kuda yang bertubuh kecil (Setiawan, 2011). Pengarang menggunakan pilihan frasa kuda kacang untuk menggambarkan seekor kuda yang bertubuh kecil atau pendek.
            Data 3:
            “Kau sendiri bagaimana Mardinah? Kau sedia dikawinkan?”
            Mardinah angkat bahu. Nasib tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak.
(GP:196)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan adanya penggunaan kata-kata idiomatik. Kata angkat bahu bukanlah berarti  suatu gerakan yang dilakukan oleh organ tubuh yaitu bahu. Kata angkat bahu mempunyai makna berbeda dari makna sebenarnya. Frasa angkat bahu artinya ‘menyatakan tidak tahu’(Setiawan, 2011), yang dilakukan oleh Mardinah untuk mengungkapkan pernyataan yang dia tidak mengetahuinya. Waktu itu, Mardinah mau dikawinkan dengan Dul Pendongeng setelah dikurung dalam tempat yang sama, namun Mardinah angkat bahu ketika dia ditanya persetujuan untuk menikah dengan Dul Pendongeng. Pernyataan tidak tahu Mardinah ini adalah dia tidak tahu apakah dia setuju atau tidak dengan perkawinan itu.
Penggunaan kata-kata idiomatik hampir mempunyai fungsi yang sama dengan majas yaitu sebagai salah satu unsur untuk menunjang estetika kebahasaan dalam karya sastra. Kata-kata idiomatik banyak disajikan dalam novel Gadis Pantai. Kata idiomatik merupakan kata yang bukan makna sebenarnya atau bersifat kias. Kata-kata idiomatik biasanya berbentuk frasa atau terdiri atas dua kata.

3.3 Kajian Stilistika: Citraan
            Adapun citraan yang terdapat dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:

3.3.1 Citraan Pendengaran
            Data 1:
            Malam itu jam dinding jauh di ruang tengah telah berbunyi dua belas kali.
(GP:17)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan citraan pendengaran. Pengarang mengajak pembaca untuk menggunakan citraan auditifnya yaitu pembaca seolah-olah mendengar bunyi jam dinding yang berada di ruang tengah sebanyak dua belas kali.
            Data 2:
            Keruyuk pagi ayam jago pantai mulai terdengar. Terdengar juga deru ombak...
                                                                                    (GP:192)

Analisis:
            Data 2 tersebut juga menunjukkan adanya citraan pendengaran. Pengarang berusaha untuk mengajak pembaca menggunakan indera pendengarnya seolah-olah mendengar bunyi ayam jago saat menjelang pagi, dan bunyi ombak yang menderu pada pagi hari.

3.3.2 Citraan Penglihatan
            Data:
            Teh di atas meja sudah menjadi dingin. Dan lampu listrik tiba-tiba menyala.
(GP:14)

Analisis:
            Data tersebut menunjukkan citraan penglihatan. Pengarang berusaha menyajikan sebuah keadaan untuk membangkitkan indera penglihatan pembaca. Pembaca seolah-olah sedang melihat suatu benda yaitu teh yang berada di atas meja, dan bersamaan dengan itu pembaca melihat lampu yang tiba-tiba menyala.

3.3.3 Citraan Penciuman
            Data:
            Tak pernah ia impikan di dunia ada bau yang begitu menyegarkan. Di kampungnya ke mana pun ia pergi dan di mana pun ia berada yang tercium hanya satu macam bau: amis tepian laut.
(GP:18)
Analisis:
            Data tersebut menunjukkan adanya citraan penciuman. Pengarang menggunakan kata amis sebagai perangkat untuk mempengaruhi indera penciuman pembaca bekerja. Pembaca seolah-olah mencium bau yang tidak sedap, bau amis yang biasanya ada disekitar pantai.

3.3.4 Citraan Peraba
            Data 1:
            Mereka sedang menghirup udara pagi di kebun belakang.
            (GP:26)

Analisis:
            Data1 tersebut menunjukkan adanya penggunaan citraan peraba. Membaca klausa menghirup udara pagi indera pembaca akan bekerja. Pembaca seolah-olah bisa merasakan bagaimana segarnya menghirup udara di pagi hari.

Data 2:
            Udara kian lama kian merangsang dengan panasnya, seakan angin enggan menyentuh tubuh manusia.
(GP:182)

Analisis:
            Data 2 tersebut juga menunjukkan citraan peraba. Membaca kata panas indera pembaca akan bekerja. Pembaca seolah-olah bisa merasakan panasnya udara sehingga tubuh manusia terasa seperti terbakar.  

3.3.5 Citraan Perasa
            Data:
            Ya bapak, emak! Ia teguk habis air teh segelas yang terletak di atas meja.
(GP:89)

Analisis:
            Data tersebut menunjukkan indera perasa (pencecapan). Membaca air teh indera pembaca akan bekerja. Pembaca seolah-olah bisa merasakan manisnya dari air teh tersebut. Pembaca bisa merasakan manis dari air teh juga diberikan sebuah tekanan berupa kata teguk, yang memberikan gambaran kepada pembaca seolah-olah minum teh dan merasakan manisnya.

3.3.6 Citraan Intelektual
            Data 1:
            “Bukan sahaya mengikuti, Mas Nganten. Tugas sahaya itu hanya membantu”
            “Jangan mempergunakan sahaya Mbok”
                 Bujang itu tertegun. Ia heran. Baru kemarin gadis pantai kini telah berani melarang.
            “Sahaya hanya bujang, Mas Nganten”
                 Dan sekarang Gadis Pantai tertegun. Ia mulai mengerti, di sini ia tak boleh punya kawan seorang pun yang sederajat dengannya. Ia merasa adanya jarak yang begitu jauh, begitu dalam dirinya dengan wanita yang sebaik itu yang hampir-hampir tak pernah tidur menjaga dan mengurusnya, selalu siap lakukan keinginannya, selalu siap terangkan segala yang ia tak faham, ...
            (GP:32)
Analisis:
            Data 1 tersebut menunjukkan citraan intelektual, dengan citraan intelektualnya Pramoedya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca, bahwa adanya stratifikasi sosial dalam masyarakat Jawa. Klasifikasi sosial tersebut menunjukkan adanya perbedaan kedudukan atau statusnya dalam bermasyarakat (interaksi). Perbedaan tersebut sangat dominan dengan segala aturan, hal ini terlihat pemahaman yang disajikan dalam novel ini adalah bahwa seorang pembantu (bujang) tidak boleh bergaul dengan majikan (priyayi). Dalam kehidupan bangsawan (priyayi) terdapat suatu aturan bahwa dalam bergaul itu haruslah memilih teman yang sederjat dengan kedudukannya. Pramoedya juga memberikan interpretasinya – tidak sejalan dengan aturan tersebut – pola pikir kepada pembaca bahwa terjadi ketidakadilan bagi rakyat biasa.
            Data 2:
            “Mengapa tidak? Di kampung kami pria dan wanita sama-sama bertamu”.
                 Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan dan kaum bendoro di daerah Pantai. Seorang bendoro dengan istri orang kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin. Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. perkawinan dengan orang kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan – itu penghinaan bila menerimanya.
(GP:63)
Analisis:
            Data 2 menunjukkan adanya citraan intelektual, Pramodeya ingin menunjukkan penekanan adanya aspek klasifikasi sosial dalam masyarakat Jawa. Melalui citraan intelektualnya Pramoedya berusaha memberi gambaran atau pemahaman bahwa dalam masyarakat Jawa adanya stratifikasi sosial yang memberikan dampak buruk pada salah satu kelompok sosial terutaman status sosial rendah. Pramoedya menggunakan “orang kebanyakan” sebagai representasi dari golongan status sosial rendah. Stratifikasi sosial menyebabkan ketidakadilan bagi orang kebanyakan dalam kedudukan status sosial harus dikucilkan. Hal ini tercermin dari cerita yang disajikan Pramoedya yang diwakilkan oleh tokoh bujang bahwa perkawinan seorang bangsawan dengan orang kebanyakan hanyalah sebuah uji coba ketika kelak seorang bendoro menikah dengan keturunan bangsawan. Namun, apabila perkawinan dengan orang kebanyakan itu diterima hanya merupakan penghinaan bagi kaum bangwasan. Diskriminatif terhadap golongan berstatus rendah sangatlah kejam, sampai acara sakral pun (pernikahan bendoro dengan Gadis Pantai), tidak dianggap suatu hubungan yang suci menurut adat kebiasaan, melainkan hanya sebuah uji coba dan penghinaan.  

















BAB.4 KESIMPULAN

            Faktor kebahasaan yang diciptakan dalam sebuah karya sastra mempunyai karakteristik khusus. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan estetika (dulte et utile) yang menjadi unsur pembeda dengan ragam bahasa yang lain. Unsur estetika sebagai kebutuhan yang mutlak yang harus melekat dalam karya sastra. Namun, karakteristik khusus tersebut mempunyai ciri khas tersendiri sebagai entitas karakteristik pengarang. Pengarang mempunyai karakter yang berbeda dalam menciptakan sebuah karya sastra, hal tersebut dipengaruhi sosio-kultural pengarang yang berbeda. Unsur estetika kebahasaan bisa dikaji melalui kajian stilistika. Stilistika merupakan kajian sastra yang menitikberatkan pada gaya bahasa yang relevansinya terhadap sosio-kultural pengarang.
            Kajian stilistika dalam novel Gadis Pantai dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa stilistika novel Gadis Pantai memliki daya sebagai sarana sastra yang terkesan ekspresif, naratif dan provokatif. Nuansa intelektual pengarang  yang disajikan dalam novel ini adalah seputar perjuangan kehidupan orang kebanyakan (rakyat bawah) dalam masyakat Jawa. Hal ini tidak terlepas dari perjuangan hidup Pramoedya yang dihukum tanpa adanya proses pengadilan.
            Kajian stilstika yang menganalisis diksi dan gaya bahasa dalam novel Gadis Pantai terdapat aneka warna yang diciptakan. Pemilihan kosa kata cenderung bermakna konotatif, tentunya faktor ini merupakan suatu faktor penting untuk menciptakan estetika dalam karya sastra dan juga sebagai faktor pembeda antara ragam bahasa sastra dan ragam bahasa yang lain. Pemilihan diksi berbahasa Jawa banyak ditemukan dalam novel Gadis Pantai, penggunaan variasi bahasa Jawa sebagai realisasi yang sesuai dengan latar belakang pengarang yang dilahirkan ditengah-tengah masyarakat Jawa. Gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam novel Gadis Pantai antara lain 1) majas perbandingan, meliputi: majas simile, majas metafora, majas personifikasi, majas sinekdoke, majas hiperbola, majas antnomasia majas dan majas eponim; 2) majas penegasan, meliputi: majas elipsis, dan majas repetisi; 3) majas pertentangan: majas antitesis; dan 4) majas sindiran, meliputi: majas ironi dan majas anifrasis.
            Selain itu, terdapat kosa kata yang memiliki fungsi untuk menciptakan estetika kebahasaan yaitu tuturan idiomatik. Kata idiomatik juga bersifat konotatif yang mengacu bukan makna sebenarnya. Kata idiomatik cenderung terdapat novel ini misalnya: kuda kacang, mengangkat bahu, membuang muka, dan sebagainya.
Adapun yang menjadi kajian stilistika adalah citraan, citraan yang ditemukan dalam analisis novel Gadis Pantai yaitu citraan penglihatan, citraan penciuman, citraan pendengaran, citraan perasa, citraan peraba dan citraan intelektual. Dalam citraan intelektual, pengarang menggunakan intelektualnya untuk memberikan pemahaman terhadap pembaca bahwa klasifikasi sosial yang ada pada masyakat Jawa berdampak pada ketidakadilan hak asasi manusia dan kekuatan feoadalisme – masyarakat Jawa – menimbulkan  penderitaan bagi kalangan orang kebanyakan (rakyat bawah).



















DAFTAR PUSTAKA

Buku
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maslikatin, Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Jember University Press.
Nurgiyantoro, Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Setiawan, Ebta. 2010-2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Off line Versi 1.3. Http://ebsoft.web.id. [13 Desember 2011]
Toer, Pramoedya Ananta. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra.

Internet
Pawon, Buletin Sastra. 2008. Biografi Singkat Pramoedya Ananta Toer. http://pawonsastra.blogspot.com/2008/04/biografi-singkat-pramoedya-ananta-toer.html. [16 Mei 2012 ].
Kawaii, Neng Ety. 2010. “Roman Gadis Pantai Pramoedya Ananta Toer” dalam Sekedar Tulisan. http://nengetykawaii.blogspot.com/2010/06/roman-gadis-pantai-karya-pramoedya.html. [15 Mei 2012].