BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan
sastra dari masa ke masa menghasilkan sebuah karya yang konferehensif dan
spektakuler. Secara garis besar, genre
sastra dibagi menjadi dua yaitu sastra nonimanjinatif dan sastra imajinatif
(Soemardjo dan Saini dalam Maslikatin, 2007:13). Namun secara umum pembagian
genre sastra hanya berpusat pada sastra imajinatif yaitu prosa, puisi, dan
drama. Salah satu karya sastra yang mempunyai dari tarik pembaca yaitu novel.
Novel
adalah cerita berbentuk fiksi dalam ukuran yang luas. Ukuran yang luas dapat
dilihat dari tema yang kompleks, plot yang kompleks, karakter yang kompleks,
konfliks yang kompleks dan setting yang kompleks. Dalam perkembangannya, novel
berkembang dengan pesat dibandingkan dengan bentuk karya sastra yang lain.
Novel memanifestasikan suatu keberagaman cerita yang kompleks dari seputar
kehidupan masyarakat. Cerita-cerita yang diangkat sebagai tema tentunya mempunyai
relevansi dengan karakteristik pengarang atau budaya pengarang. Bagaimana
pengarang tersebut menilai suatu problematika kehidupan yang ia tuangkan lewat karya sastra. Salah satu pengarang yang
mempunyai kharismatik bagi bangsa Indonesia adalah Pramoedya Ananta Toer. Siapa
yang canggung mendengar nama pengarang ini, beliau adalah pengarang sejati,
hampir 14 tahun dari hidupnya ia diasingkan di pulau buru tanpa ada proses
pengadilan. Setelah beliau dibebaskan, beliau tetap menjadi tahanan negara yang
wajib lapor satu minggu satu kali. Sebagai tahanan negara, tidak menyurutkan
semangatnya untuk berkarya, salah satu karyanya yang ditulis pada masa menjadi tahanan kota dan
negara adalah Novel Gadis pantai.
Novel
Gadis Pantai merupakan novel pertama dari trilogi yang
ditulisnya,
sebuah novel tanpa terselesaikan,
karena dua buku kelanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan
kuasa, kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Gadis pantai
ini menyuarakan suara rakyat, yang mana pada waktu itu terjadi feodalisme pada
masyarakat Jawa. Gadis pantai merupakan simbol perwakilan dari rakyat
biasa yang hidupnya dikuasai oleh orang Jawa yang berdarah biru (bangsawan). Novel
ini bercerita bagaimana feodalisme orang Jawa pada waktu itu sangat menjunjung
tinggi status sosial. Golongan Bendoro (priyayi) adalah golongan
orang-orang suci yang sulit untuk disentuh, mereka berhak berbuat apa saja
terhadap rakyat bawahan, termasuk mengawini anak-anak gadis bawahannya yaitu Gadis
Pantai yang dijadikan sebagai Mas Nganten yang akhirnya akan dicampakkan
begitu saja.
Novel
Gadis Pantai ini merupakan suatu novel kritikan terhadap feodalisme
orang Jawa (bendoro), yang menindas para masyarakat di kampung nelayan.
Serangkaian resensi di atas penulis berminat ingin meneliti Novel Gadis Pantai
dari kajian stilistika. Suatu kajian sastra yang menitikberatkan pada gaya
bahasa, bahasa figuratif dan pemakaian diksi, yang menghasilkan suatu efek
estetika kebahasaan. Penulis ingin mengkaji sejauh mana pengarang memainkan
gaya bahasa untuk mengungkapkan suatu sikap kritis dan perlawanan terhadap
feodalisme yang terjadi waktu itu.
1.2 Rumusan
Masalah
Perumusan
masalah merupakan proses menuju kristalisasi dari berbagai hal yang terdapat di
latar belakang. Suatu makalah harus mempunyai ruang lingkup agar objek
kajiannya lebih terarah dan tidak menyimpang dari bahasan utamanya yaitu kajian
stilistika, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1)
bagaimana
penggunaan diksi dalam Novel Gadis Pantai?
2)
apa saja
majas-majas yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai?
3)
apa saja
citraan yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai?
1.3 Tujuan
Tujuan
merupakan realisasi yang hendak dicapai yang relevan terhadap permasalahan yang
ada. Adapun tujuannya sebagai berikut:
1)
untuk
mengetahui penggunaan diksi dalam Novel Gadis Pantai
2)
untuk
mendeskripsikan majas-majas yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai
3)
untuk
mendeskripsikan citraan yang terdapat dalam Novel Gadis Pantai
1.4 Landasan
Teori
Dalam
sebuah kajian untuk menganlisis dalam perumusan masalah di atas yaitu
menggunakan kajian teori yang berkaitan dengan maslah tersebut. Adapun teori-teori
yang digunakan dalam menganalisis sebagai berikut:
1.4.1
Stilistika
Secara
etimologis stylistic berhubungan dengan kata syle, artinya
‘gaya’. stylistic dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Stilistika
adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra (Endraswara, 2011:71).
Bahasa sastra adalah bahasa khas, yaitu bahasa yang sudah direkayasa sehingga
memunculkan gaya bahasa yang membangkitkan kesenangan pembaca. Kajian stilistika
tidak hanya terbatas pada gaya bahasa sastra saja, kajian stilistika itu
sendiri sebenarnya dapat ditujukan terhadap berbagai ragam penggunaan bahasa,
tidak sebatas pada sastra saja (Chapman,1973:13 dalam Nurgiyantoro, 2010:279).
Penelitian
stilistika atau gaya bahasa dapat dilihat dari tiga aspek yaitu: 1) melihat
dari sudut penulis, dengan mempelajari kedalaman penulis dalam menampilkan gaya
bahasa; 2) dari ciri teks sastra, dengan cara mempelajari dan mengkategorikan
gaya bahasa yang tampil dalam teks; dan 3) gaya yang dihubungkan dengan kesan
yang diperoleh dari khalayak.
1.4.2 Diksi
Secara
harafiah diksi adalah pilihan kata. Pengertian diksi atau pilihan kata jauh
lebih luas dari pa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata. Menurut Keraf
(2009:23) diksi atau pilihan kata dipergunakan untuk menyatakan kata-kata mana
yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi
persoalan fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Fraseologi mencakup persoalan
kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau cara-cara khusus yang
berbentuk ungkapan-ungkapan. Setiap pengarang mempunyai ciri dalam pemilihan
diksi. Hal ini dipengaruhi oleh perbedaan latar belakang sosial dan budaya,
pendidikan, dan agama dari pengarang.
1.4.3 Majas
(Bahasa Figuratif)
Majas
(bahasa figuratif) merupakan bahasa yang bermakna kias atau makna lambang. Bahasa
figuratif adalah bahasa yang digunakan penyai atau pengarang untuk menyatakan
sesuatu dengan cara yang tidak biasa, yaitu secara tidak langsung mengungkapkan
makna. Kata atau bahasanya bermakna kias atau bersifat konotatif. Bahasa figuratif
dipandang mampu menghasilkan kesenangan yang imajinatif yang menghadirkan efek
estetika dalam karya tersebut. Secara garis besar majas dibedakan menjadi 4
macam, yaitu 1) perbandingan, 2) penegasan, 3) pertentangan, dan 4) sindiran. Adapun
jenis-jenis majas (bahasa figuratif) sebagai berikut:
1) Majas
Perbandingan
a)
Majas
Simile
Majas simile adalah majas
perbandingan yang bersifat ekspilisit dan menggunakan kata-kata pembanding:
seperti, bagaikan, laksana dan lain sebagainya. Misalnya:
-
Wajahmu
bagai pinang dibelah dua.
b)
Majas
Metafora
Metafora adalah kiasan langsung,
artinya benda yang dikiaskan itu tidak disebutkan. Menurut Keraf (2009139)
metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal yang secara
langsung, tetapi dalam bentuk singkat: bunga bangsa, buaya darat, buah hati dan
lain-lain. Metafora sebagai perbandingan langsung tidak mempergunakan kata:
seperti, bak, bagaikan, bagai, dan sebagainya. Misalnya:
-
Pemuda
adalah bunga bangsa.
c)
Majas
Personifikasi
Personifikasi adalah keadaan atau
peritiwa alam yang dikiaskan sebagai keadaan atau peritiwa yang dialami manusia
(Maslikatin, 2007:84). Sedangkan, menurut Keraf (2009:) personifikasi adalah
semacam gaya bahasa kiasan yang menggambarkan benda-benda mati yang tidak
bernyawa seolah-olah memiliki sifat-sifat kemanusiaan. Misalnya:
-
Bulan
mengintip di balik awan
-
Matahari
baru saja kembali ke peraduannya, ketika kami tiba di sana.
d)
Majas
Sinekdoke
Sinekdoke adalah semacam bahasa
figuratif yang mempergunakan sebagian dari sesuatu hal untuk menyatakan
keseluruhan (pars pro toto) atau mempergunakan keseluruhan untuk
menyatakan sebagian (totum pro parte). Misalnya:
-
Dalam
pertandingan sepak bola antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama
Senayan, tuan rumah menderita kekalahan 3 – 4.
e)
Majas
Hiperbola
Hiperbola merupakan kiasan
berlebih-lebihan. Hiperbola adalah semacam gaya bahasa yang mengandung suatu
pernyataan yang berlebihan, dengan membersar-besarkan sesuatu hal (Keraf,
2009:135). Misalnya:
-
Kemarahanku
sudah menjadi-jadi hingga hampir-hampir meledak aku.
f)
Majas
Antonomasia
Majas antonomia adalah majas yang
merupakan bagian sinekdoke yang berwujud penggunaan sebuah epiteta untuk
menggantikan nama diri, atau gelar resmi, atau jabatan untuk menggantikan nama
diri. Misalnya:
-
Pangeran
yang meresmikan pembukaan seminar itu.
g)
Majas
Eponim
Majas eponim adalah suatu gaya
bahasa dimana nam seseorang menunjukkan ciri-ciri tertentu. Misalnya:
-
Kecantikannya
seperti cleoptra.
2) Majas
Penegasan
a)
Majas
Elipsis
Majas elipsis adalah suatu gaya
bahasa yang berwujud menghilangkan suatu unsur kalimat atau dengan pola kalimat
tidak lengkap. Misalnya:
-
Pergi!
(maksudnya anak-anak, pergilah sekarang juga)
b)
Majas
Repetisi
Majas repetisi adalah suatu gaya
bahasa dengan perulangan bunyi, suku kata, atau kata atau sebagian kalimat yang
dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.
Misalnya:
-
Atau
maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama
kecoak-kecoak, pergi bersama mereka menyusupi tanah, menyusupi
alam?
3) Majas
Pertentangan: Majas Antitesis
Majas antitesis adalah sebuah gaya
bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan
kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Misalnya:
-
Kaya-miskin,
tua-muda, besar-keci, semuanya mempunyai kewajiban terhadap keamanan bangsa dan
negara.
4) Majas
Sindiran:
a)
Majas
Ironi
Majas ironi adalah suatu acuan yang
ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dengan apa yang
terkandung dalam rangkaian kat-katanya (Keraf, 2009:143). Misalnya:
-
Saya
tahu Anda adalah seorang gadis yang paling cantik di dunia ini yang perlu
mendapat tempat terhormat!
b)
Majas
Anifrasis
Majas Anifrasis
adalah sindiran dengan makna menyindir. Misalnya:’
-
Si miskin
sudah datang (padahal ia kaya).
1.4.4 Citraan
Citraan
merupakan gambaran angan, gambaran dalam pikiran dan bahasa yang
menggambarkannya. Gambaran pikiran yang menimbulkan efek dalam pikiran yang
menyerupai (gambaran) yang dihasilkanoleh penangkapan objek yang dapat dilihat
mata, saraf penglihatan, dan daerah-daerah otak. Adapun jenis-jenis citraan
yaitu dihasilkan oleh indera penglihatan, pendengaran, pencecapan, penciuman,
dan perabaan bahkan diciptakan oleh pemikiran dan gerak (citraan intelektual).
1.5 Metode
Penelitian
Penelitian
sastra memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia, di samping
juga berpengaruh positif terhadap pembinaan dan pengembangan sastra itu sendiri
(Tuloli, 1990:92 dalam Endraswara 2011:10). Metode yang digunakan dalam analisis ini adalah
metode kualitatif.
Metode
kualitatif dalam analisis ini menggunakan pendekatan dekriptif analisis. Pendekatan
analisis deskriptif merupakan metode yang dilakukan dengan cara mendeskrpsikan
fakta-fakta (fakta yang terdapat dalam karya sastra), setelah itu disusul
dengan analisis. Dalam metode ini, peneliti tidak hanya menguraikan, namun
peneliti harus juga memberikan pemahaman dan penjelasan. Penjelasan tersebut
dipadankan dengan teoari-teori yang relevan dengan pembahasan yaitu teori
stilistika.
BAB 2. GAMBARAN UMUM
Novel
gadis pantai merupakan novel pertama dari trilogi yang tidak terlesaikan. Dua
novel lanjutan dari Gadis Pantai hilang ditelan keganasan kuasa,
kepicikan pikir dan tradisi aksara yang masih membuta. Novel ini menceritakan seputar
perjalanan seorang gadis yang berasal dari kampung nelayan, sebut saja dia
dengan Gadis Pantai. Gadis Pantai yang masih berusia belia dipaksa
menikah dengan laki-laki yang tidak ia kenal dari kalangan bangsawan yaitu Bendoro. Setelah
pernikahan selesai, gadis pantai lalu diboyong oleh bapak dan emak dengan
iring-iringan kepala kampung nelayan dengan kendaraan dokar menuju alun-alun
kabupaten. Iringan tersebut yang mengantarkan Gadis Pantai untuk diserahkan ke bendoro.
Bendoro merupakan orang Jawa yang berdarah biru yang mempunyai korelasi dengan
pemerintah belanda. Adapun kajian sosial budaya pengarang dalam novel Gadis
Pantai sebagai berikut:
2.1 Klasifikasi
Sosial Masyarakat Jawa
Priyayi
dalam novel ini adalah golongan ningrat sangat mempertahankan tradisi Jawa yang
ada sebagai bentuk warisan khasanah dari nenek moyang. Priyayi dalam novel
gadis pantai ini merupakan sekelompok orang Jawa yang mempunyai kehormatan dan
dihormati dalam status sosial. Hal ini
tercermin dari tokoh seorang Bendoro yang mempunyai kekuasaan dan dihormati,
sehingga suatu kebahagiaan bagi emak dan bapak Gadis Pantai, bahwa anaknya
telah diunting oleh Bendoro. Priyayi dalam novel ini cenderung berkenaan dengan
masalah penataan dunia spritual. Namun, kehadiran priyayi (bendoro) dalam novel
ini suatu tanda kritikan terhadap kekuasaan para penguasa Jawa yaitu seorang
bendoro.
Tokoh
bujang wanita (mbok) dan Gadis Pantai merupakan representasi dari rakyat
kebanyakan (bawahan). Pramoedya menghadirkan tokoh mbok dan Gadis Pantai sebagai
kontrol sosial terhadap kelompok ningrat. Pramoedya menghadirkan sebuah tradisi
bahwasanya orang kebanyakan di sini hanya patuh terhadap aturan oleh penguasa.
Hal ini tercermin dari sikap dan keseharian Gadis Pantai setelah berada dalam
rumah bendoro, ia harus patuh dan dilarang berbicara seenaknya dengan para
bujang-bujang yang melayaninya. Terlihat sangat mencolok tentang perbedaan
status sosial dalam novel ini, Gadis Pantai tidak bisa bersikap semaunya
terhadap bendoro selayaknya suami pada umumnya. Namun, Gadis Pantai tetap harus
hormat dan patuh sesuai dengan aturan (tradisi priyayi). Gadis Pantai harus
mampu bersikap dan menjaga sikap sebagai wanita utama.
Pramoedya
mengungkapkan bahwa kekejaman feodalisme Jawa yang terjadi pada saat itu. Kaum
bangsawan pada saat itu mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam masyarakat
Jawa. Perbedaan status sosial yang dijunjung tinggi sehingga kaum bangsawan
tidak boleh bergaul dengan orang bawahan. Pramoedya mengungkapkan betapa
kejamnya feodalisme Jawa, sampai orang tua dari Gadis Pantai pun harus pergi
dari rumah tersebut. Seorang bendoro tidak menganggap orang tua Gadis Pantai sebagaimana
layaknya mertua biasanya. Emak dan bapak Gadis Pantai pun memahami perbedaan
statusnya sebagai rakyat bawahan. Emak dan bapak hanya menaruh harapan
bahwasanya masa depan gadis pantai lebih terjamin dengan cara disunting oleh
kaum bangsawan.
2.2 Relasi
Gender
Dalam
novel ini juga sedikit menyinggung tentang masalah gender. Permasalahan gender
yang juga menjadi bahan pembicaraan pada kalangan bangsawan (darah biru). Golongan
priyayi (bendoro) yang menganggap bahwasanya seorang anak wanita itu tidak bisa
menjadi penerus keluarga. Hal yang sangat mencolok dalam novel ini adalah
terpisahnya ibu dan anak secara paksa, dan diceraikannya seorang Mas Nganten (Gadis
Pantai) setelah ia melahirkan anak (perempuan) bagi Bendoro. Dalam masyarakat
feodal nampak sekali perbedaan antara anak perempuan dan laki-laki. Berapa
besarnya keinginan rakyat feodal untuk mendapatkan anak laki-laki. Hal ini
dikarenakan mereka mengharapkan adanya penerus bagi mereka. Dalam masyarakat
ini anak perempuan hanya dianggap sebagai pengganggu saja dan tidak dapat
dibanggakan. Perempuan dianggap sebagai tempat pelepasan birahi dan melahirkan
anak saja, apa lagi jika perempuan itu berasal dari rakyat rendahan.
Novel
inilah yang berhasil menguak kekejaman feodalisme Jawa yang terjadi pada waktu
itu. Feodalisme yang hanya mendukung orang yang berkuasa yang berasal dari
kalangan bangsawan (darah biru). Kekejaman feodalisme memberikan dampak yang
sangat buruk bagi rakyat biasa yang diperlakukan atas dasar sesuka hati para
penguasa. Terlihat dari kesengsaraan rakyat kecil (Gadis Pantai) harus menerima
perceraian yang secara sepihak. Gadis Pantai sebagai representasi bahwasanya
rakyat kecil tidak mempunyai kekuatan untuk melawan kekejaman para penguasa.
Gadis Pantai harus terpaksa pergi dan memutuskan untuk mengambil jalan menuju
Blora (kota kelahiran Pramoedya). Rangkaian cerita tersebut yang mencerminkan
adanya ketidakadilan atas hak-hak sebagai manusia makhluk Tuhan, utamanya
sebagai rakyat biasa (bawahan).
Gambaran
dalam novel Gadis Pantai, sebagian besar novel ini merupakan
suatu pengalaman atau kenyataan yang pernah ia lihat, pernah ia rasakan dan
dialami oleh pengarang sebagai individu yang berada dalam masyarakatnya. Namun,
Pramoedya bukanlah orang yang suka menyerah dan menerima layaknya orang
kebanyakan. Sebagai seorang pribadi, Pramoedya juga mempunyai pandangan yang
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Dalam novel ini Pramoedya berusaha
mengusuk tentang kejamnya feodalisme Jawa
yang terjadi waktu itu. Hal itu dilatarbelakangi oleh kehidupan Pramoedya yang
merupakan salah satu wacana wakil dari masyarakat pada kelompok orang
kebanyakan. Dalam mengarang novel ini Pramoedya terinspirasi dari neneknya
sendiri (nenek dari ibu) yang bernama Satimah. Neneknya merupakan cerminan
orang kebanyakan yang dijadikan selir oleh kakeknya. Kakeknya adalah seorang
penghulu di kota Rembang. Tetapi, setelah melahirkan bayi perempuan yang tak
lain adalah ibu kandung Pramoedya, ia diusir dari gedung tuannya. Nenek Satimah
berasal dari keluarga miskin, karakternya yang periang, suka memberi dan sayang
kepada cucu-cucunya. Meskipun Pramoedya tidak begitu mengenal neneknya, namun
dari sinilah nenek Satimah merupakan prototipe orang kebanyakan yaitu Gadis Pantai.
BAB 3. PEMBAHASAN
Novel
Gadis Pantai merupakan salah satu karya Pramoedya Ananta Toer,
novel pertama dari trilogi yang tidak terselesaikan. Novel yang menyuarakan
problema yang dilematis pada saat itu yaitu tentang feodalisme Jawa yang
terkesan kejam terhadap rakyat bawahan (orang kebanyakan: Gadis Pantai). Gerak
cerita yang disajikan dalam novel ini sangat kompleks. Novel ini merupakan
representasi dari latar belakang kehidupan pengarang. kekejaman feodalisme Jawa
yang memberikan pandangan pengarang bahwa ia tidak sepaham dengan paham
tersebut. Tentunya, relevansi latar belakang pengarang itu mempunyai pengaruh
yang cukup tinggi terhadap karya yang dihasilkan, meliputi gaya bahasanya, tema
kehidupan yang menjadi landasan pemilihan judul dan lain-lain. Setiap pengarang
mempunyai gaya atau ciri khas yang berbeda dalam menuangkan konsep pemikirannya,
misalnya Pramoedya Ananta Toer yang berlatar belakang sosial budaya Jawa.
Stilistika
novel Gadis Pantai (GP) yang memiliki daya sebagai sarana sastra yang
terkesan ekpresif, naratif dan provokatif dalam pemaparan cerita. Sebagai
sarana ekspresif, pemilihan diksi yang digunakan pengarang mendukung untuk
menciptakan sebuah gagasan yang diungkapkan oleh pengarang. Daya naratif dan provokatif,
penceritaan yang disajikan oleh Pramoedya bersifat naratif yang mengandung daya
provokatif karena gaya bahasa yang dikolaborasi sedemikian rupa untuk
memberikan kesan yang berbeda terhadap pembaca. Kaya akan kata-kata konotatif
yang diaplikasikan seindah mungkin untuk menunjang unsur estetika kebahasaan. Stilistika
Gadis Pantai nuansa intelektual seputar perjuangan kehidupan rakyat
bawah masyarakat Jawa. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang Pramoedya
Ananta Toer yang memperjuangkan hidupnya setelah dia dibuang di Pulau Buru.
Darah campuran yang terdapat dalam diri Pramoedya, tidak mempengaruhi atas
ideologi pemikirannya untuk lebih memihak memperjuangkan dan menyuarakan
penderitaan rakyat kecil.
3.1 Kajian
Stilistika: Diksi
Diksi
merupakan pilihan kata yang
mempunyai peranan penting. Stilistika pada penggunaan diksi (pilihan kata)
dalam gadis pantai yang paling dominan sebagai berikut:
3.1.1 Kata
Konotatif
Kata
konotatif ini menunjuk pada makna bukan sebenarnya atau kias. Makna konotatif
ini mempunyai peran aktif dalam menciptakan sebuah karya sastra dengan nilai
estetika yang tinggi. Kata konotatif dalam novel Gadis Pantai
sangat dominan.
Data 1:
Dan jadilah ia bunga kampung
nelayan sepanjang pantai keresidenan jepara Rembang.
Angin yang bersuling di puncak
pohon-pohon cemara tidak membuat pertumbuhannya lebih baik.
(GP:1)
Analisis:
Data
di atas merupakan sebagian kecil kata yang menunjukkan kata konotatif. Bentuk frasa
bunga kampung nelayan, kata bunga makna denotatifnya adalah bagian
tumbuhan yang menjadi bunga. Namun, kata bunga di sini merujuk pada
makna konotatif yang dikonotasikan kepada sosok seorang gadis kecil yang
mungil, matanya agak sipit, hidung ala kadarnya yaitu yang disebut gadis
pantai. Sosok gadis mungil tersebut yang melatar belakangi pengarang memilih
kata bunga sebagai lambang sebuah keindahan.
Bentuk
kalimat selanjutnya adalah frasa angin yang bersuling merupakan salah
satu bentuk kata yang bermakna konotatif. dalam dunia nyata angin tidaklah
akan berbuat layaknya manusia yaitu bersuling. pengarang memilih kata
bersuling, pengarang menganggap bahwasanya angin yang terjadi secara
sepoi-sepoi diibaratkan bunyi seruling, sehingga angin yang sepaoi-sepoi itu
tidak menghambat pertumbuhan pohon cemara.
Data 2:
Dua titik air
menggantung layu pada sepasang mata bapak.
(GP:31)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan kata konotatif padan novel Gadis pantai. Bentuk dua
titik air ini adalah konotatif untuk menggambarkan keadaan yang sedang
menangis. Kata menangis dan dua titik air mempunyai sebuah gambaran yang sama
yaitu air dan peragaan. Kata dua menggambarkan sebuah mata yang
berjumlah dua atau sepasang yang bisa mengeluarkan air mata. Penyebutan dua
titik air ini ditujukan kepada bapak (Gadis Pantai) yang menangis untuk melepas
kepergian anaknya ke rumah bendoro.
Data 3:
Pukulan rebana itu tiba-tiba keras memprotes.
dan orang-orang pun memberikan kesempatan padanya berbicara.
(GP:180)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan adanya pemakaian kata konotatif. Pada kata memprotes
bukanlah makna denotatif yang menunjuk pada sebuah pernyataan ketidak
persetujuan. Namun, pemilihan kata itu dikonotasikan sebagai representatif
amarah atau emosi pemilik rebana. Bahwa penggunaan kata memprotes
dianggap mewakili sebuah emosi yang sedang terjadi pada pemilik rebana (dul
pendongeng) agar diberi kesempatan untuk berbicara.
Dalam
karya sastra kata konotatif merupakan unsur kebahasaan yang sangat dominan. Hal
ini sebagai upaya untuk menciptakan estetika dalam sebuah karya sastra. Unsur kebahasaan
inilah yang sangat menonjol sebagai bentuk perbedaan ragam bahasa sastra dengan ragam bahasa
yang lain.
3.1.2 Kosa Kata
Bahasa Jawa
Dalam
novel Gadis pantai ini banyak ditemukan kosa kata bahasa Jawa. Hal ini
dilatarbelakangi oleh faktor kultural pengarang yang dibesarkan di kalangan
masyarakat Jawa. Berikut data yang menunjukkan pemakaian kosa kata bahasa Jawa.
Data:
Emak membuang muka,
melalui jendela dokar ke arah laut yang menghidupinya sepanjang umur.
(GP:3)
Saking panjangnya
ruangan itu sehingga nampak seakan sempit.
(GP:6)
“Ah,
Mas Nganten, Mas Nganten, bocah kecil, kecil juga susahnya. Bocah gede,
gede juga susahnya.”
(GP:40)
Botol-botol
kecap lari ke dapur. Oleh-oleh digelar di atas ambin.
(GP:140)
“Mau beli benang jala?”
“tidak”
“”Damar”
(GP:216)
Analisis:
Data
yang bercetak miring tersebut menunjukkan pemakaian bahasa Jawa. Hampir setiap
bagian dari novel tersebut terdapat kosa kata yang berasal dari Bahasa Jawa
yaitu emak ‘ibu’, saking ‘karena’, gede ‘besar’, ambin
‘balai-balai’ dan damar ‘sejenis lampu’. Data yang disajikan di atas
merupakan sebagian dari penggunaan kosa kata yang ada dalam novel Gadis
Pantai. Pemilihan diksi kosa kat Jawa ini digunakan oleh Pramoedya untuk
menciptakan latar sosial budaya masyarakat Rembang sesuai latar cerita. Rembang
merupakan nama sebuah daerah yang ada di Semarang, Jawa Tengah.
3.2 Kajian
Stilstika: Bahasa Figuratif
Bahasa
figuratif adalah bahasa bermakna kias atau makna lambang. Bahasa figuratif
dipandang lebih efektif untuk menyatakan apa yang dimaksudkan pengarang. Bahasa
figuratif mampu menghidupkan suasana, mengandung nilai estetika yang mendorong
timbulnya kesan yang menyenangkan terhadap pembaca. Bahasa figuratif meliputi:
permajasan, tuturan idiomatik dan peribahasa. Majas yang ditemukan dalam novel Gadis
Pantai sebagai berikut:
3.2.1 Permajasan
Majas
meruapkan suatu gaya bahasa yang mempunyai peranan penting dalam menunjang
estetika karya sastra. Adapun majas-majas yang terdapat dalam novel Gadis
Pantai sebagai berikut:
a) Majas
Perbandingan
1)
Majas
Simile
Data:
Tahu, Mas Nganten,
seorang wanita utama adalah laksana gunung.
(GP:64)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas simile. Majas simile tersebut ditandai dengan adanya
kata pembanding yaitu laksana. Pengarang sedang mengkiaskan perbandingan yaitu
seorang wanita yang mempunyai kedudukan bangsawan (Mas Nganten) diibaratkan
gunung. Ibarat ini mungkin dengan kedudukan gunung yang tinggi dan setia
(tetap). Jadi, kedudukan seorang wanita bangsawan itu mempunyai kehormatan yang
dijunjung tinggi oleh bawahannya.
2)
Majas
Metafora
Data:
Kulitnya kuning
langsat selicin tapak setrika.
(GP:34)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas metafora. Majas metafora di atas mengkonotasikan
bahwa keberadaan tubuh seseorang itu bagus dan tidak ada bekas. Sehingga,
pengarang menggunakan kiasan langsung bahwa pujian akan kemulusan tubuh gadis
pantai itu sempurna, seakan-akan tidak ada satu hewan yang dapat menyentuhnya,
halus, dan lembut yaitu
dengan gambaran kata selicin tapak setrika.
3)
Majas
Personifikasi
Data:
Dan mendadak sepasang kilat
mengintip dari balik awan gelap.
(GP:128)
Analasis:
Data
tersebut menunjukkan majas personifikasi. Majas personifikasi terlihat dari
penggunaan kata kilat ‘cahaya yang berkelebat dengan cepat dari langit’
seolah-olah melakukan perbuatan seperti manusia yaitu dengan kata mengintip.
Kata mengintip ‘melihat lubang kecil dengan sembunyi’ merupakan
suatu bentuk kata kerja, yang hal ini suatu bentuk yang ditujukan terhadap
pekerjaan manusia. Jadi, data di atas menunjukkan sebuah ibarat terhadap benda
(kilat) atau barang-barang yang bisa berbuat layaknya makhluk hidup atau
manusia yaitu mengintip.
4)
Majas
Sinekdoke
Data:
Gadis Pantai
(judul novel)
Analisis:
Judul novel “Gadis Pantai” merupakan
pengambilan judul dengan dengan menggunakan majas sinekdoke. Setiap orang
mempunyai nama sebagai tanda pengenal dan identitas diri. Namun, Gadis Pantai
bukanlah nama yang sesungguhnya yang mengarah pada nama diri seseorang. Nama
Gadis Pantai merupakan suatu nama yang digunakan untuk mewakili gadis atau perempuan-perempuan
pantai yaitu representasi dari seorang gadis yang berasal dari orang-orang
kebanyakan atau rakyat bawah. Oleh karena itu, pemilihan judul dengan Gadis
Pantai merupakan majas sinekdoke yang totum pro parte yaitu
mempergunakan keseluruhan untuk menyatakan sebagian. Artinya, bahwa yang
menikah dengan seorang bendoro itu hanya satu orang bukan seluruh gadis pantai
(gadis yang tinggal disekitar pantai).
5)
Majas
Hiperbola
Data:
Lebih duapuluh empat jam perut tak dilalui makanan.
(GP:183)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas hiperbola. Penggunaan rangkaian kata tersebut adanya
unsur yang dilebih-lebihkan. Kata lebih duapuluh empat jam merupakan
konotasi yang dipakai untuk melebih-lebihkan, untuk mengungkapkan suatu keadaan “sangat lapar”. Kata lebih
duapuluh empat jam mempunyai kesamaan arti lebih dari sehari semalam, hal
ini terkesan bahwa suatu keadaan yang sangat lapar bisa terwakili dengan klausa
tersebut.
6)
Majas
Antonomasia
Data:
“Pada aku ini Mas
Nganten tak boleh sebut diri sahaya. Itu kata hina bagi penyebut di hadapan
dan untuk Mas Nganten.”
(GP:15)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas antonomasia. Penggunaan kata Mas Nganten merupakan suatu data yang khusus mengacu pada
penggunaan majas antonomasia. Penyebutan kata Mas Nganten adalah suatu
sebutan (menggantikan nama orang) yang khusus diberikan kepada seorang wanita
yang berkedudukan sebagai istri bendoro yaitu kaum bangsawan. Sebutan Mas
Nganten ini diberikan kepada gadis pantai sejak ia menjadi wanita utama dan
istri dari seorang bendoro.
7)
Majas
Eponim
Data:
Tubuh yang
kecil itu meriut seperti keong, ketakutan.
(GP:3)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas eponim. Data tersebut menggunakan kata keong sebagai
penggnati nama yang menunjukkan ciri tertentu. Keong merupakan salah
satu hewan yang mempunyai kebiasaan apabila ia disentuh ia akan meriutkan atau
menyembunyikan badannya di dalam rumahnya. Rasa takut yang dialami oleh gadis
pantai tersebut diibaratkan seperti keong yang sedang meriutkan badannya
dibalik rumahnya. Sedangkan kata tubuh yang kecil itu merupakan sebuah entitas yang digambarkan
pengarang adalah gadis pantai. Sehingga, pengarang menggunakan kata keong
sebagai rasa untuk mengungkapkan rasa takut yang dialami oleh gadis pantai.
b) Majas
Penegasan
1)
Majas
Elipsis
Data:
“Pergi!” (maksudnya
gadis pantai disuruh pergi dari hadapan bendoro)
(GP:224)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan adanya majas elipsis. Penggunaan kata pergi
merupakan sebuah kalimat minor yang mengandung maksud perintah. Penggunaan kata
pergi merupakan majas elipsis yang mana ada salah satu unsur yang
dilesapkan. Ucapan pergi adalah ucapan yang diucapkan oleh bendoro
kepada gadis pantai, sebagai simbolisasi bahwa gadis pantai telah diusir dari
kediaman bendoro. Salah satu unsur yang mungkin dilesapkan adalah pergi
gadis pantai yaitu subjek yang dihilangkan.
2)
Majas
Repetisi
Data:
Di ruangan ini tak ada lesung. Tak ada bau udang
kering. Tak ada ada babon tongkol yang tergantung diatas pengasapan. Tak
ada yang bergantungan di dinding
terkecuali kaligrafi-kaligrafi Arab yang tak mengeluarkan bau.
(GP:14)
Analisis:
Data tersebut menunjukkan majas
repetisi. Kata tak ada merupakan frasa sebagai bentuk perulangan yang
dianggap penting untuk memberikan tekanan. Sebuah tekanan yang menunjukkan
suatu perbedaan suasana yang dialami oleh gadis pantai. Situasi yang ada dalam
ruangan tersebut sudah jauh berbeda dengan situasi yang masih di kampung
nelayan. Pengarang menggunakan perulangan frasa tak ada untuk
memperjelas tekanan bahwa di ruangan itu sudah berbeda dengan situasi yang
dialami gadis pantai pada saat ia berada di kampung nelayan.
c) Majas Pertentangan:
Majas Antitesis
Data:
Dan ternyata
seluruh kampung sedang menunggu mereka, berbaris besar-kecil, tua-muda,
laki-perempuan, di pantai di bawah deretan pohon-pohon...
(GP:198)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas antitesis. Kata-kata yang bercetak miring merupakan sebuah
gagasan yang bertentangan yang menggambarkan sebuah kondisi di kampung nelayan
untuk menyambut kedatangan gadis pantai. Pengarang menggunakan kata-kata
bertentangan yang sifatnya mutlak yaitu besar >< kecil, laki-laki
>< perempuan, dan tua >< muda. Pengarang menggunakan kata-kata yang
bertentangan tersebut, bahwasanya tidak ada yang dapat menggantikan sifat dari
keduanya.
d) Majas
Sindiran:
1)
Majas
ironi
Data:
“Inilah
kampung. Kampungku. Jangan injakkan kakimu yang indah di atas pasir ini, nyonya
janda, kalau tidak mau kena kutukanku.”
(GP:126)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas ironi, perkataan dari Gadis Pantai terhadap Mardinah
yaitu jangan injakkan kaki yang indah di atas pasir ini merupakan
sindiran yang ditujukan kepada Mardinah bahwa dia tidak boleh ikut ke kampung
nelayan. Gadis Pantai menyindir Mardinah supaya dia balik ke Bendoro dan tidak
mengikutinya
2)
Majas
Anifrasis
Data:
“Itu bukan aku,
bukan aku. Bukan! Bukan! Iblis”.
(GP:33)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan majas anifrasis. Data tersebut mempunyai makna yang
berlawanan dengan kenyataan. Gadis Pantai menyindir dirinya sendiri bahwa
dirinya jelek. Namun, keadaan gadis pantai sangat cantik seperti bidadari,
seperti halnya dibuktikan dengan ucapan bujang “Lihatlah itu bukan iblis.
Bidadari dari surga itu sendiri!” (GP:34). Makna pada data tersebut
bertentangan dengan keberadaan gadis pantai yang sebenarnya merupakan gadis
yang cantik.
3.2.2 Idiomatik
Tuturan
idiomatik dalam suatu kajian stilistika termasuk dalam ranah bahasa figuratif.
Adapun data yang menunjukkan data tuturan idiomatik dalam novel Gadis Pantai
sebagai berikut:
Data 1:
Dan jadilah ia bunga kampung
nelayan sepenggal pantai keresidenan Jepara Rembang.
(GP:1)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan adanya pemakaian kata yang bermakna idiomatik. Frasa bunga
kampung mempunyai kesetaraan dengan bunag desa. Frasa bunga kampung mempunyai
makna ‘perawan yang karena kecantikannya di kampung tempat tinggalnya’.
Pegarang menggunakan frasa bunga kampung sebagai simbol untuk
menggambarkan sesosok kecantikan dari seorang perempuan atau gadis kampung dari
kampung nelayan yaitu gadis pantai.
Data 2:
Kuda kacang yang
menarik dokar sarat muatan nampak seperti sedang berjingkrak kepanasan.
(GP:115)
Analisis:
Data 2 tersebut juga menunjukkan adanya penggunaan kata yang
bermakna idiomatik. Frasa kuda kacang merupakan frasa yang bukan
bermakna sebenarnya, makna frasa tersebut adalah kuda yang bertubuh kecil
(Setiawan, 2011). Pengarang menggunakan pilihan frasa kuda kacang untuk
menggambarkan seekor kuda yang bertubuh kecil atau pendek.
Data 3:
“Kau sendiri
bagaimana Mardinah? Kau sedia dikawinkan?”
Mardinah angkat
bahu. Nasib tak dapat diraih, mujur tak dapat ditolak.
(GP:196)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan adanya penggunaan kata-kata idiomatik. Kata angkat bahu
bukanlah berarti suatu gerakan yang
dilakukan oleh organ tubuh yaitu bahu. Kata angkat bahu mempunyai makna
berbeda dari makna sebenarnya. Frasa angkat bahu artinya ‘menyatakan
tidak tahu’(Setiawan, 2011), yang dilakukan oleh Mardinah untuk mengungkapkan
pernyataan yang dia tidak mengetahuinya. Waktu itu, Mardinah mau dikawinkan
dengan Dul Pendongeng setelah dikurung dalam tempat yang sama, namun Mardinah angkat
bahu ketika dia ditanya persetujuan untuk menikah dengan Dul Pendongeng.
Pernyataan tidak tahu Mardinah ini adalah dia tidak tahu apakah dia setuju atau
tidak dengan perkawinan itu.
Penggunaan
kata-kata idiomatik hampir mempunyai fungsi yang sama dengan majas yaitu
sebagai salah satu unsur untuk menunjang estetika kebahasaan dalam karya
sastra. Kata-kata idiomatik banyak disajikan dalam novel Gadis Pantai.
Kata idiomatik merupakan kata yang bukan makna sebenarnya atau bersifat kias.
Kata-kata idiomatik biasanya berbentuk frasa atau terdiri atas dua kata.
3.3 Kajian
Stilistika: Citraan
Adapun
citraan yang terdapat dalam novel Gadis Pantai sebagai berikut:
3.3.1 Citraan
Pendengaran
Data 1:
Malam itu jam
dinding jauh di ruang tengah telah berbunyi dua belas kali.
(GP:17)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan citraan pendengaran. Pengarang mengajak pembaca untuk
menggunakan citraan auditifnya yaitu pembaca seolah-olah mendengar bunyi jam
dinding yang berada di ruang tengah sebanyak dua belas kali.
Data 2:
Keruyuk pagi ayam jago pantai mulai
terdengar. Terdengar juga deru ombak...
(GP:192)
Analisis:
Data
2 tersebut juga menunjukkan adanya citraan pendengaran. Pengarang berusaha
untuk mengajak pembaca menggunakan indera pendengarnya seolah-olah mendengar
bunyi ayam jago saat menjelang pagi, dan bunyi ombak yang menderu pada pagi
hari.
3.3.2 Citraan
Penglihatan
Data:
Teh di atas meja
sudah menjadi dingin. Dan lampu listrik tiba-tiba menyala.
(GP:14)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan citraan penglihatan. Pengarang berusaha menyajikan sebuah
keadaan untuk membangkitkan indera penglihatan pembaca. Pembaca seolah-olah
sedang melihat suatu benda yaitu teh yang berada di atas meja, dan bersamaan
dengan itu pembaca melihat lampu yang tiba-tiba menyala.
3.3.3 Citraan
Penciuman
Data:
Tak pernah ia impikan di dunia ada
bau yang begitu menyegarkan. Di kampungnya ke mana pun ia pergi dan di mana pun
ia berada yang tercium hanya satu macam bau: amis tepian laut.
(GP:18)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan adanya citraan penciuman. Pengarang menggunakan kata amis
sebagai perangkat untuk mempengaruhi indera penciuman pembaca bekerja.
Pembaca seolah-olah mencium bau yang tidak sedap, bau amis yang biasanya ada
disekitar pantai.
3.3.4 Citraan
Peraba
Data 1:
Mereka sedang
menghirup udara pagi di kebun belakang.
(GP:26)
Analisis:
Data1 tersebut menunjukkan adanya penggunaan citraan peraba.
Membaca klausa menghirup udara pagi indera pembaca akan bekerja. Pembaca
seolah-olah bisa merasakan bagaimana segarnya menghirup udara di pagi hari.
Data 2:
Udara kian lama kian merangsang
dengan panasnya, seakan angin enggan menyentuh tubuh manusia.
(GP:182)
Analisis:
Data 2 tersebut juga menunjukkan citraan peraba. Membaca kata panas
indera pembaca akan bekerja. Pembaca seolah-olah bisa merasakan panasnya
udara sehingga tubuh manusia terasa seperti terbakar.
3.3.5 Citraan
Perasa
Data:
Ya bapak, emak! Ia
teguk habis air teh segelas yang terletak di atas meja.
(GP:89)
Analisis:
Data
tersebut menunjukkan indera perasa (pencecapan). Membaca air teh indera
pembaca akan bekerja. Pembaca seolah-olah bisa merasakan manisnya dari air teh
tersebut. Pembaca bisa merasakan manis dari air teh juga diberikan sebuah
tekanan berupa kata teguk, yang memberikan gambaran kepada pembaca
seolah-olah minum teh dan merasakan manisnya.
3.3.6 Citraan
Intelektual
Data 1:
“Bukan sahaya
mengikuti, Mas Nganten. Tugas sahaya itu hanya membantu”
“Jangan
mempergunakan sahaya Mbok”
Bujang itu tertegun. Ia heran. Baru kemarin gadis pantai kini telah
berani melarang.
“Sahaya hanya bujang, Mas Nganten”
Dan sekarang Gadis Pantai tertegun. Ia mulai mengerti, di sini ia tak
boleh punya kawan seorang pun yang sederajat dengannya. Ia merasa adanya jarak
yang begitu jauh, begitu dalam dirinya dengan wanita yang sebaik itu yang
hampir-hampir tak pernah tidur menjaga dan mengurusnya, selalu siap lakukan
keinginannya, selalu siap terangkan segala yang ia tak faham, ...
(GP:32)
Analisis:
Data
1 tersebut menunjukkan citraan intelektual, dengan citraan intelektualnya
Pramoedya ingin memberikan pemahaman kepada pembaca, bahwa adanya stratifikasi
sosial dalam masyarakat Jawa. Klasifikasi sosial tersebut menunjukkan adanya
perbedaan kedudukan atau statusnya dalam bermasyarakat (interaksi). Perbedaan
tersebut sangat dominan dengan segala aturan, hal ini terlihat pemahaman yang
disajikan dalam novel ini adalah bahwa seorang pembantu (bujang) tidak boleh
bergaul dengan majikan (priyayi). Dalam kehidupan bangsawan (priyayi) terdapat
suatu aturan bahwa dalam bergaul itu haruslah memilih teman yang sederjat
dengan kedudukannya. Pramoedya juga memberikan interpretasinya – tidak sejalan
dengan aturan tersebut – pola pikir kepada pembaca bahwa terjadi ketidakadilan
bagi rakyat biasa.
Data 2:
“Mengapa tidak? Di
kampung kami pria dan wanita sama-sama bertamu”.
Nampak bujang itu merasa kasihan kepada Gadis Pantai. Pengalaman selama
ini membuat ia banyak tahu tentang perbedaan antara kehidupan orang kebanyakan
dan kaum bendoro di daerah Pantai. Seorang bendoro dengan istri orang
kebanyakan tidaklah dianggap sudah beristri, sekalipun telah beranak selusin.
Perkawinan demikian hanyalah satu latihan buat perkawinan sesungguhnya: dengan
wanita dari karat kebangsawanan yang setingkat. perkawinan dengan orang
kebanyakan tidak mungkin bisa menerima tamu dengan istri dari karat
kebangsawanan yang tinggi, karena dengan istri asal orang kebanyakan – itu
penghinaan bila menerimanya.
(GP:63)
Analisis:
Data
2 menunjukkan adanya citraan intelektual, Pramodeya ingin menunjukkan penekanan
adanya aspek klasifikasi sosial dalam masyarakat Jawa. Melalui citraan
intelektualnya Pramoedya berusaha memberi gambaran atau pemahaman bahwa dalam
masyarakat Jawa adanya stratifikasi sosial yang memberikan dampak buruk pada
salah satu kelompok sosial terutaman status sosial rendah. Pramoedya
menggunakan “orang kebanyakan” sebagai representasi dari golongan status sosial
rendah. Stratifikasi sosial menyebabkan ketidakadilan bagi orang kebanyakan
dalam kedudukan status sosial harus dikucilkan. Hal ini tercermin dari cerita
yang disajikan Pramoedya yang diwakilkan oleh tokoh bujang bahwa
perkawinan seorang bangsawan dengan orang kebanyakan hanyalah sebuah uji coba
ketika kelak seorang bendoro menikah dengan keturunan bangsawan. Namun, apabila
perkawinan dengan orang kebanyakan itu diterima hanya merupakan penghinaan bagi
kaum bangwasan. Diskriminatif terhadap golongan berstatus rendah sangatlah
kejam, sampai acara sakral pun (pernikahan bendoro dengan Gadis Pantai), tidak
dianggap suatu hubungan yang suci menurut adat kebiasaan, melainkan hanya sebuah
uji coba dan penghinaan.
BAB.4 KESIMPULAN
Faktor
kebahasaan yang diciptakan dalam sebuah karya sastra mempunyai karakteristik
khusus. Hal ini dipengaruhi oleh kebutuhan estetika (dulte et utile)
yang menjadi unsur pembeda dengan ragam bahasa yang lain. Unsur estetika
sebagai kebutuhan yang mutlak yang harus melekat dalam karya sastra. Namun,
karakteristik khusus tersebut mempunyai ciri khas tersendiri sebagai entitas
karakteristik pengarang. Pengarang mempunyai karakter yang berbeda dalam
menciptakan sebuah karya sastra, hal tersebut dipengaruhi sosio-kultural
pengarang yang berbeda. Unsur estetika kebahasaan bisa dikaji melalui kajian
stilistika. Stilistika merupakan kajian sastra yang menitikberatkan pada gaya
bahasa yang relevansinya terhadap sosio-kultural pengarang.
Kajian
stilistika dalam novel Gadis Pantai dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa stilistika novel Gadis Pantai memliki daya sebagai
sarana sastra yang terkesan ekspresif, naratif dan provokatif. Nuansa
intelektual pengarang yang disajikan
dalam novel ini adalah seputar perjuangan kehidupan orang kebanyakan (rakyat
bawah) dalam masyakat Jawa. Hal ini tidak terlepas dari perjuangan hidup
Pramoedya yang dihukum tanpa adanya proses pengadilan.
Kajian
stilstika yang menganalisis diksi dan gaya bahasa dalam novel Gadis Pantai
terdapat aneka warna yang diciptakan. Pemilihan kosa kata cenderung bermakna
konotatif, tentunya faktor ini merupakan suatu faktor penting untuk menciptakan
estetika dalam karya sastra dan juga sebagai faktor pembeda antara ragam bahasa
sastra dan ragam bahasa yang lain. Pemilihan diksi berbahasa Jawa banyak
ditemukan dalam novel Gadis Pantai, penggunaan variasi bahasa Jawa
sebagai realisasi yang sesuai dengan latar belakang pengarang yang dilahirkan
ditengah-tengah masyarakat Jawa. Gaya bahasa atau majas yang terdapat dalam
novel Gadis Pantai antara lain 1) majas perbandingan, meliputi: majas
simile, majas metafora, majas personifikasi, majas sinekdoke, majas hiperbola,
majas antnomasia majas dan majas eponim; 2) majas penegasan, meliputi: majas
elipsis, dan majas repetisi; 3) majas pertentangan: majas antitesis; dan 4)
majas sindiran, meliputi: majas ironi dan majas anifrasis.
Selain
itu, terdapat kosa kata yang memiliki fungsi untuk menciptakan estetika
kebahasaan yaitu tuturan idiomatik. Kata idiomatik juga bersifat konotatif yang
mengacu bukan makna sebenarnya. Kata idiomatik cenderung terdapat novel ini
misalnya: kuda kacang, mengangkat bahu, membuang muka, dan sebagainya.
Adapun yang menjadi kajian
stilistika adalah citraan, citraan yang ditemukan dalam analisis novel Gadis
Pantai yaitu citraan penglihatan, citraan penciuman, citraan pendengaran,
citraan perasa, citraan peraba dan citraan intelektual. Dalam citraan
intelektual, pengarang menggunakan intelektualnya untuk memberikan pemahaman
terhadap pembaca bahwa klasifikasi sosial yang ada pada masyakat Jawa berdampak
pada ketidakadilan hak asasi manusia dan kekuatan feoadalisme – masyarakat Jawa
– menimbulkan penderitaan bagi kalangan
orang kebanyakan (rakyat bawah).
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Endraswara,
Suwardi. 2011. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS.
Keraf,
Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Maslikatin,
Titik. 2007. Kajian Sastra: Prosa, Puisi, Drama. Jember: Jember
University Press.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press.
Setiawan,
Ebta. 2010-2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Off line Versi 1.3. Http://ebsoft.web.id.
[13 Desember 2011]
Toer,
Pramoedya Ananta. 2000. Gadis Pantai. Jakarta: Hasta Mitra.
Internet